VISUM ET REPERTUM

Visum Et Repertum merupakan barang bukti yang sah karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.

Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu :

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Keterangan terdakwa
  4. Surat-surat
  5. Petunjuk

Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu:

  1. Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim
  2. Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat
  3. Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainya untuk membuat kesimpulan  VeR yang lebih baru.

Secara umum terdapat dua jenis Visum et Repertum yaitu Visum et Repertum untuk korban hidup dan Visum et Repertum untuk orang mati. Untuk korban hidup dapat berupa Visum et Repertum luka, Visum et Repertum perkosaan/kejahatan seksual, Visum et Repertum psikiatrik dan sebagainya sesuai dengan kondisi subjek yang diperiksa. Untuk korban mati akan disusun

Visum et Repertum jenazah. Pada umumnya semua dokter dianggap memiliki kemampuan untuk menyusun Visum et Repertum dalam bentuk apapun.

 

Visum et Repertum (VeR) Psikiatri merupakan jenis visum yang dibuat untuk menerangkan status kejiwaan seseorang dengan menggunakan ilmu psikiatri dan berdasarkan hasil pemeriksaan psikiatri. Visum ini penting untuk menentukan apakah tersangka pelaku tindak pidana tersebut dapat mempertanggungjawabkan tindakannya atau tidak. Seseorang terdakwa yang ternyata mempunyai kelainan kejiwaan baik karena pertumbuhannya maupun karena penyakit, dianggap tidak dapat bertangggung jawab atas perbuatannya sehingga tidak dapat dipidana. (Afandi, 2011).

 

Sampai saat ini pembuatan VeR Psikiatri yang paling sering adalah untuk kasus pidana, dimana seseorang yang diduga menderita gangguan jiwa melakukan kekerasan, atau mengalami penganiayaan fisik atau psikis. Namun tidak jarang permintaan VeR Psikiatri untuk kasus perdata seperti pembatalan kontrak perjanjian karena salah satu pihak diduga menderita kelainan jiwa. Sehingga VeR Psikiatri bisa dijadikan acuan untuk : (Afandi, 2011).

  1. Membantu menentukan apakah terperiksa menderita gangguan jiwa (diagnosis).
  2. Membantu menentukan kemungkinan adanya hubungan antara gangguan jiwa pada terperiksa dengan peristiwa hukumnya, dengan menentukan kemungkinan hubungan antara gangguan jiwa dengan perilaku yang mengakibatkan peristiwa hukum.
  3. Membantu menentukan kemampuan tanggung jawab pada terperiksa.
  4. Membantu menentukan cakap atau tidaknya terperiksa mengambil keputusan dalam hukum.

 

Dasar Hukum

Di mata hukum, penderita gangguan kejiwaan dianggap tidak mampu untuk mengambil keputusan ataupun menilai lingkungan dengan benar, sehingga dalam Pasal 44 Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) dijelaskan: (Wahjadi, 2003)

  1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.
  2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
  3. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Selain itu, dasar hukum pembuatan VeR Psikiatri adalah Pasal 120 KUHAP bila pemintanya adalah penyidik, atau Pasal 186 bila pemintanya adalah hakim. Kadang-kadang VeR Psikiatri bisa juga diminta pembuatannya oleh jaksa penuntut umum dengan mendasarkan kewenangannya melakukan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan. (Wahjadi, 2003)

Teknik dan Pemeriksaan

Dalam melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan hukum dilaksanakan oleh tim. Tim dibentuk oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) melalui surat keputusan pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan terdiri 1(satu) dokter spesialis kedokteran jiwa yang merangkap sebagai ketua tim dan pembuat VeRP, dibantu sekurang- kurang nya 2 (dua) orang tenaga kesehatan lainnya, diantaranya dokter Sp. KJ, dokter Spesialistik lain, dokter umum, psikologi klinis, tenaga keperawatan maupun tenaga kesehatan lainnya. (Permenkes no. 77 tahun 2015)

Dokter Sp. KJ merangkap ketua tim bertugas melakukan pemeriksaan psikiatrik, memimpin rapat dan merangkum hasil temuan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya, membuat analisis medikolegal serta menyusun laporan dalam bentuk VeRP. Tenaga kesehatan lainnya melakukan pemeriksaan sesuai dengan bidang keilmuan masing-masing, melakukan pencatatan dalam rekam medik, melaporkan hasil temuan kepada dokter Sp. KJ selaku ketua tim, dan membahas hasil temuan bersama anggota tim lain dalam menyusun kesimpulan pemeriksaan. (Permenkes no. 77 tahun 2015)

Pada pemeriksaan perkara pidana dengan pelaku yang diduga mengalami gangguan jiwa, Bilamanana data yang diperlukan telah mencukupi maka Psikater dapat membuat kesimpulan pemeriksaan. Kesimpulan pemeriksaan setidaknya memuat : (Permenkes no. 77 tahun 2015)

  1. Apakah Pelaku tindak pidana sedang mengalami gangguan jiwa pada saat melakukan tindak pidana atau tidak? Bila jawaban Ya maka Psikiater harus menyebutkan nama penyakit dan diagnosis penyakit jiwa pelaku tindak pidana. Dari nama penyakit dapat diketahui gradasi, kronisitas dari penyakit tersebut
  2. Apakah tindak pidana yang dilakukan pelaku berhubungan dengan gejala penyakit penyakit yang dialami pelaku? Pada penyakit jiwa yang berlangsung kronis, beberapa gejala penyakit tidak hilang dan tetap dialami orang dengan gangguan jiwa. Namun demikian ada tindak pidana yang dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa tidak berhubungan dengan penyakit dan gejala penyakitnya.
  3. Apakah pelaku menyadari perbuatannya? Tahap kemampuan menyadari perbuatannya adalah tahap saat pelaku seharusnya dapat mempersepsi dan kemudian menginterpretasi dan mengambil kesimpulan dari stimulus yang diperoleh. Kesadaran disini ditentukan dengan memeriksa tingkat kesadaran seperti pada pemeriksaan psikiatrik pada umumnya. Dapat ditentukan apakah pelaku tersebut pada saat melakukan perbuatan pidana dalam keadaan sadar penuh, berkabut, berubah, ngantuk dan lain sebagainya.
  4. Apakah pelaku memahami resiko perbuatannya? Kesimpulan ini diperoleh untuk melihat bagaimana pelaku tindak pidana setelah mendapat kesimpulan terhadap stimulus yang diterima maka pelaku akan mengembangkan berbagai respon untuk menjawab berbagai stimulus yang diperoleh. Dalam pengembangan dan pemilihan respon, pelaku akan menentukan respon-respon apa yang akan dilakukannya dan sesudah itu pelaku akan menelaah nilai (value) dari masing-masing respon tersebut bagi masyarakat. Dari menelaah nilai, pelaku juga akan menelaah kemungkinan resiko serta nilai resiko bagi dirinya dan masyarakat. Melalui penelaahan dan pemahaman dari nilai perbuatannya serta nilai resiko perbuatannya, maka pelaku memilih respon yang akan dilakukan dalam tindakan untuk menjawab stimulus. Kemampuan pemahaman ini dapat ditentukan melalui pemeriksaan discriminative insight, yaitu pemahan mengenai apa yang akan dilakukan, mengapa hal itu harus dilakukan, dan bagaimana proses pengembangan hal tersebut dilakukan.
  5. Apakah pelaku dapat memaksakan / mengendalikan perilakunya? Pemeriksa dapat menentukan apakah pelaku pada waktu melakukan perbuatannya bebas mempertimbangkan respon yang dipilih sebagai sebuah tindakan, atau yang bersangkutan dipengaruhi oleh gejala penyakitnya atau nilai-nilai budaya yang diyakininya.

Prosedur penerimaan pasien visum er repertum psikiatrikum di Rumah Sakit Jiwa

Setelah petugas pengirim darang ke IGD atau Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, petugas IGD atau Poli Rawat Jalan menjelaskan syarat-syarat visum er repertum psikiatri kepada petugas pengirim.

Petugas IGD mengisi data pasien secara lengkap di rekam medis.

Petugas IGD mengantar pasien dan dokumen rekam medis ke ruang/bangsal visum

Pasien diperiksa dan diobservasi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung selama-lamanya 14 hari hari dan dapat diperpanjang 14 hari lagi bila pemeriksaan psikiatrik belum selesai, selama diobservsi pasien tidak diberikan obat

Dokter melakukan observasi pada pagi hari,siang dan malam harinya observasinya dilakukan oleh perawat dan mencatat hasil observasi pada formulir hasil observasi

Setelah proses pemeriksaan dan observasi psikiatrik pasien harus diambil oleh instansi pemohon

Hasil Visum harus diserahkan kepada instansi pemohon paling lambat 7 hari setelah pemeriksaan dan observasi psikiatrik selesai

Hasil pemeriksaan, hasil observasi dan surat keterangan hasil visum dilampirkan pada dokumen rekam medis

Untuk pembiayaan selama observasi akan dibebankan kepada pihak pengirim atau keluarga

 

 

Sumber:

http://idikotim.org/visum-et-repertum/

https://blogrekammedis.blogspot.com/2021/02/spo-visum-et-repertum-kasus-pengadilan.html

RSJD Provinsi kepulauan Bangka Belitung

https://id.wikipedia.org/wiki/Visum_et_repertum

http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/10/Dedi-Afandi.-Visum-et-repertum-Ed-2.pdf

https://forensicmedindonesia.wordpress.com/2018/03/29/ver-psikiatri/

 

 

 

 

 

 

Penulis: 
Enser Rovido, S. Kep, Ners
Sumber: 
Perawat Rumah Sakit Jiwa Daerah

Artikel

02/12/2024 | Gita Riskika,S.Farm.
29/11/2024 | Gita Riskika,S.Farm.
28/11/2024 | Rakhmawati Tri Lestari, S.Psi., M.Psi.
28/11/2024 | Zurniaty, , S. Farm., Apt
26/11/2024 | Ns..Sri Rahmawat,AMK,S.Kep.
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt
30/06/2016 | Wieke Erina Ariestya, S.Kep.Ners
30/11/2022 | Zurniaty, S. Farm., Apt
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt

ArtikelPer Kategori