TOXIC POSITIVITY : KEBIASAAN SELALU POSITIF YANG BERACUN

“Lihat sisi baiknya”, “berpikir positif saja”, “tetap tersenyum”, “akan selalu ada hikmahnya”, “kamu pasti bisa mengatasinya”, “syukuri saja kondisi saat ini” dan lain sebagainya. Apakah anda benar-benar merasa menjadi lebih baik mendengarkan ungkapan tersebut? Saat anda merasakan atau mengalami kondisi yang tidak baik-baik saja?, sebagaimana sudah banyak penelitian yang tidak terbantahkan terkait manfaat bersyukur dan berpikir positif untuk kehidupan dan kesehatan mental.

Ungkapan-ungkapan tersebut tidak jarang kita dengar dari orang lain bahkan dari diri sendiri yang tujuannya mendorong tetap bersikap positif agar dapat segera keluar dari situasi buruk dan perasaan yang tidak nyaman dengan berfokus pada sisi positif, emosi positif dan sifat positif. Manfaat ini juga tidak dapat kita nafikan sebagai konsep positivity yang dipopulerkan oleh beberapa ahli. Namun disisi lain kita juga perlu melihat bahwa konsep ini tidak berlaku pada semua orang, Pada beberapa kasus, individu yang setelah berfokus pada hal-hal positif saat mengalami masalah kemudian justru merasa lebih buruk, tidak berharga dan menyalahkan dirinya sendiri.  Hal ini juga sudah dibuktikan pada sebuah penelitian yang menjelaskan pengulangan kalimat positif terhadap diri sendiri (self-positive statement) yang dilakukan justru tidak efektif dan memperburuk keadaan, khususnya bagi mereka yang memiliki self-esteem rendah.

Konsep positivity yang makin popular dan memberikan manfaat luas bagi kebahagiaan dan kualitas hidup yang lebih baik. Mengalami miskonsepsi dalam penerapannya pada beberapa situasi yang tidak tepat misalnya pada situasi berat kedukaan (griefing) atau bahkan mengalami pengkhianatan dari pasangan. Dukungan untuk tetap positif berbalik arah menjadi suatu ungkapan yang menyudutkan, memunculkan perasaan bersalah karena tidak mampu melihat sisi positif dari kondisi buruk yang dialami. Pengarahan untuk tetap positif ini tanpa disadari mendorong seseorang untuk mengabaikan hal-hal negatif. Maka disinilah konsep untuk selalu positif justru menjadi tidak logis dan dapat membahayakan kondisi emosional seseorang. Promosi berlebihan terhadap konsep positivity ini kemudian lebih akrab dikenal dengan istilah “Toxic Positivity”.

Toxic positivity dapat diartikan sebagai keyakinan pada konsep positif yang berlebihan, mengharuskan individu untuk selalu bersikap positif di segala kondisi dan menyangkal atau mengabaikan emosi negatif. Perilaku yang selalu berfokus pada hal positif menjadikan individu tidak dapat memvalidasi emosi yang dirasakannya sehingga jika invalidasi ini terus berulang dan berlangsung dalam jangka panjang akan membahayakan kesehatan psikologis maupun fisiologis, karena tidak memberikan ruang untuk mengatasi/memproses emosi negatif tersebut.

Beberapa langkah yang dapat anda lakukan agar tidak terjebak dalam perilaku toxic positivity terhadap diri sendiri maupun orang lain:

  1. Mendengarkan, berikan waktu untuk mendengarkan keluhan atau kesulitan yang dialami dan bersikap terbuka atas apapun yang dirasakannya, alih-alih langsung berkomentar “semua akan baik-baik saja”.
  2. Mengakui emosi, mengatakan sebuah kalimat sederhana “Saya tau ini membuat aku kecewa” “Saya paham hal ini sangat berat bagimu” dapat juga menjadi  ungkapan penuh empati terhadap kesulitan yang dialami diri sendiri maupun orang lain orang lain.
  3. Tunjukan dukungan, daripada langsung meminta orang yang dalam situasi tidak nyaman untuk langsung bersikap positif, anda dapat menyampaikan hal seperti “kamu ingin membicarakannya? Aku ada disini untuk mendengarkan” atau “apa yang kamu butuhkan saat ini?” Tanggapan yang diberikan tetap perlu memperhatikan situasi yang dihadapi.
  4. Memvalidasi emosi yang dirasakan, dengan menanggapi keluhan seperti “hal yang wajar jika kamu merasa demikian” atau “tidak mengapa, jika terkadang kita merasa tidak baik-baik saja”

Pahamilah bahwa apapun emosi yang anda alami itu valid, berikan ruang agar anda dapat memprosesnya dan melewatinya untuk merasakan emosi yang lebih nyaman.

 

Referensi :

Kojongian, MGR., & Wibowo DH. (2021). Toxic Positivity: Sisi Lain dari Konsep untuk Selalu Positif dalam Segala Kondisi . Psychopreneur Journal, 2021, 6(1): 10-25.

 

Resnick, Ariane. (2022, November 01). It's Time to Ditch Toxic Positivity in Favor of Emotional Validation. Verrywell Mind. Retrieved Desember 19, 2022 from  https://www.verywellmind.com/it-s-time-to-ditch-toxic-positivity-in-favor-of-emotional-validation-6502330.

 

Sumber foto : https://www.freepik.com/free-vector/anxiety-concept-illustration_20908543.htm#query=mental%20illness&position=3&from_view=keyword

 

Penulis: 
SEFRITA DANUR,S.PSI.,M.PSI
Sumber: 
Psikolog Klinis Rumah Sakit Jiwa Daerah

Artikel

02/12/2024 | Gita Riskika,S.Farm.
29/11/2024 | Gita Riskika,S.Farm.
28/11/2024 | Rakhmawati Tri Lestari, S.Psi., M.Psi.
28/11/2024 | Zurniaty, , S. Farm., Apt
26/11/2024 | Ns..Sri Rahmawat,AMK,S.Kep.
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt
30/06/2016 | Wieke Erina Ariestya, S.Kep.Ners
30/11/2022 | Zurniaty, S. Farm., Apt
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt

ArtikelPer Kategori