Untuk mengontrol gejala gangguan jiwa terdiri atas terapi medikasi (obat) dan terapi non medikasi (non-obat).
Terapi medikasi
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam proses pengobatan adalah mengontrol gejala gangguan jiwa yang timbul dengan pemberian obat, atau disebut juga terapi medikasi atau intervensi farmakologik. Hal yang perlu diketahui apakah pasien dalam keadaan kedaruratan psikiatrik, atau kalau tidak, apakah berada pada salah satu fase pengobatan seperti fase akut, fase stabilisasi, atau fase rumatan/maintenance.
Tujuan intervensi pada kondisi gawat darurat diharapkan agar secepat mungkin mengatasi masalah kedaruratan yang ada, sedangkan pada fase akut tujuannya untuk menyesuaikan dosis sehingga dicapai dosis minum yang efektif dan melihat sejauh mana obat dapat ditoleransi oleh pasien. Pada fase stabilisasi, tujuan pengobatan untuk mencapai tingkat kesembuhan setinggi-tingginya dengan efek samping seminimal mungkin dan mempertahankan efek pengobatan yang dicapai. Sedangkan pada fase rumatan bertujuan untuk mencegah kekambuhan berikutnya.
Dalam pelaksanaanya dokter bertugas memberikan atau meresepkan obat yang akan digunakan dan perawat membantu memberikan atau menyuntikkan obat, memberikan penjelasan atau melanjutkan pemberian obat (dengan pelimpahan wewenang). Bila memungkinkan diperlukan pelaku rawat atau orang yang dapat membantu memantau keteraturan minum obat pasien, mirip dengan Pengawas Minum Obat bagi penderita Tuberkulosis Paru. Selain itu adanya kader kesehatan, tokoh masyarakat atau relawan dapat juga membantu dalam berbagai hal, misalnya mengingatkan kepatuhan berobat, mengambilkan obat, mendampingi, dsb.
Proses pelaksanaan Pedoman tata laksana dapat mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/514/2015 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama, yang menggantikan Permenkes No.5 tahun 2014. Dapat juga menggunakan Modul Pelatihan Penatalaksanaan Kasus Gangguan Jiwa yang Sering Ditemui di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), Kementerian Kesehatan 2015, yang dikembangkan dengan mengacu pada mhGAP Intervention Guide dari WHO.
Adapun jenis obat-obatan psikiatrik di layanan dasar mendapat tambahan yang cukup berarti dalam Daftar Obat Esensial Nasional 2015 dan Formularium Nasional 2016 yang baru yang selanjutnya disahkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/137/2016 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/MENKES/523/2015 tentang Formularium Nasional.
Psikofarmaka
Antipsikosis
1) Flufenazin (Hanya untuk monoterapi rumatan pada pasien skizofrenia yang tidak dapat menggunakan terapi oral) inj 25 mg/ml (i.m) Peresepan maksimal 1 amp/2 minggu.
2) Haloperidol tab 1,5 mg*, tab 2 mg*, tab 5 mg*, drops 2 mg/ml Peresepan maksimal 90 tab/bulan. Pada inj 5 mg/ml (i.m) untuk agitasi akut/kasus kedaruratan psikiatrik (tidak untuk pemakaian jangka panjang), peresepan maksimal 1 amp/2 minggu dan inj 50 mg/ml hanya untuk monoterapi rumatan pada pasien skizofrenia yang tidak dapat menggunakan terapi oral, peresepan maksimal 1 amp/2 minggu.
3) Klorpromazin tab sal selaput 100 mg* dan inj 5 mg/ml (i.m.) peresepan maksimal 90 tab/bulan.
4) Risperidon
a. Monoterapi skizofrenia
b. Adjunctive treatment pada pasien bipolar yang tidak memberikan respon dengan pemberian lithium atau valproat
Tab 2 mg peresepan maksimal 60 tab/bulan
Terapi non medikasi
Upaya lain yang dapat di gunakan untuk mengontrol gejala gangguan jiwa melalui terapi non medikasi, diseleggarakan dengan mengacu pada pengendalian gejala yang ditemukan pada ODGJ. Tatalaksana non medikasi meliputi pengendalian gejala pada ODGJ diantaranya:
1. Perilaku kekerasan
Untuk tatalaksana pengendalian gejala perilaku kekerasan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Menjelaskan penyebab marah
Mendiskusikan bersama pasien penyebab timbulnya rasa marah/perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu dalam rangka menggali kemampuan ODGJ terhadap pemahaman masalah yang dialami
b. Menjelaskan perasaan saat terjadi marah/perilaku kekerasan terjadi
Mendiskusikan tanda-tanda perilaku kekerasan bersama pasien diantaranya tanda dan gejala subjektif: perasaan, dan tanda dan gejala objektif: tanda fisik.
c. Menjelaskan perilaku yang dilakukan saat marah
Mendiskusikan tentang perilaku yang sering dilakukan ketika ODGJ merasa kesal atau marah, baik marah secara verbal, terhadap orang lain, terhadap diri sendiri, terhadap lingkungan.
d. Mendiskusikan bersama pasien akibat perilakunya
Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan yang dilakukan oleh ODGJ baik bagi diri sendiri maupun orang lain melalui diskusi dengan ODGJ.
e. Menyebutkan cara mengontrol rasa marah/perilaku kekerasan
Mendiskusikan cara mengontrol perilaku kekerasan yaitu dengan cara patuh minum obat, cara fisik, cara sosial, dan spiritual.
f. Mengontrol rasa marah/perilaku kekerasan
Latihan pasien mengontrol perilaku kekerasannya dengan cara:
1) Patuh minum obat dan lima benar minum obat: benar pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu,
2) Fisik dengan melakukan tarik nafas dalam dan pukul benda-benda yang tidak menyakitkan seperti kasur, bantal atau angina,
3) Sosial atau verbal dengan cara menyatakan secara asertif rasa marahnya,
4) Spiritual melalui kegiatan ibadah atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
2. Halusinasi
Pengendalian pada ODGJ dengan gejala halusinasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Membantu ODGJ mengenali gejala halusinasi yang dialami,
b. Melatih ODGJ mengontrol halusinasi
Latihan yang dapat dilakukan oleh ODGJ agar dapat mengintrol halusinasi dimulai dengan memberikan penjelasan tentang cara mengontrol gejala halusinasi meliputi kompromi dengan halusinasi, mengajarkan kepatuhan pengobatan, mengajarkan komunikasi dengan anggota keluarga dan melakukan aktivitas sehari-hari secara mendiri.
3. Waham
Pengendalian yang dapat dilakukan pada ODGJ dengan gejala waham yaitu dengan cara mengorientasikan secara terus menerus terhadap lingkungan sekitar dan melatih berbagai kegiatan yang dapat dilakukan baik dilingkungan keluarga maupun masyarakat. Kegiatan yang diajarkan harus disesuaikan dengan kemampuan ODGJ dan ketersediaan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh ODGJ.
4. Perilaku menarik diri
Pengendalian yang dapat dilakukan pada ODGJ dengan perilaku menarik diri difokuskan pada pengenalan secara mandiri penyebab dan alasan menarik diri dari lingkungan. Latihan yang diberikan pada ODGJ dengan perilaku menarik diri antara lain memberikan latihan ketrampilan interaksi secara bertahap dengan lingkungan sekitarnya.
5. Perilaku bunuh diri
Pengendalian yang dapat dilakukan pada ODGJ dengan gejala perilaku bunuh diri dapat diberikan dalam rangka mereduksi keinginan ODGJ untuk menyakiti diri sendiri. Fokus utama kontrol gejala bunuh diri adalah dengan kemampuan ODGJ untuk mengidentifikasi pikiran positif baik dari segi diri sendiri maupun orang lain disekitar. ODGJ diajarkan untuk menyusun dan melakukan kegiatan masa depan secara bertahap mulai dari kegiatan sederhana dalam rumah tangga sampai dengan kegiatan yang lebih kompleks seperti terkait dengan pekerjaan.
6. Perasaan minder
Pengendalian yang dapat dilakukan pada ODGJ dengan gejala minder dapat diawali dengan mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. Bantu ODGJ untuk menilai kemampuan yang dimiliki dan menetapkan atau memilih kegiatan sesuai kemampuan. Kemampuan yang telah dipilih sebagai dasar untuk memberikan pelatihan pada ODGJ yang sesuai dengan kemampuannya.
7. Kebersihan diri
Kemampuan menjaga kebersihan diri pada ODGJ merupakan salah satu indikator pada tatalaksana gejala gangguan kejiwaan. Ketrampilan yang diberikan pada ODGJ meliputi ketrampilan menjaga kebersihan diri, kemampuan untuk berdandan, ketrampilan makan secara benar dan kemampuan melakukan dan menggunakan fasilitas toileting secara benar.
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 54. 2017. Tentang Penanggulangan Pemasungan Pada Orang Dengan Gangguan Jiwa. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

