Restrain merupakan suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku diluar kendali yang bertujuan untuk memberikan keamanan fisik dan psikologis individu (Kandar et al, 2013). Restrain adalah intervensi yang digunakan pada lingkup pelayanan kesehatan jiwa atau di tempat lain untuk mengatur dan mengontrol perilaku seseorang (Kinner et al, 2016). Rumah Sakit Jiwa menggunakan istilah emotional.
Restrain fisik adalah alat mekanis atau fisik yang digunakan dengan atau tanpa izin klien, untuk membatasi kebebasan gerak atau akses normal terhadap tubuhnya, dan bukan merupakan bagian dari rencana penanganan normal yang diindikasikan oleh kondisi atau gejala seseorang (Perry.Potter, 2010 ). Restrain fisik adalah semua metode manual atau alat fisik atau alat mekanik, materi, atau perlengkapan yang terpasang pada tubuh klien, alat tersebut sulit dilepas dan membatasi gerakan klien (Kozier.Barbara, 2010 ).
Menurut Sulistiyowati (2014), saat melakukan restrain prosedur setiap rumah sakit harus memiliki standar yang sesuai kode etik dan legalitas. Karena, restrain merupakan penerapan kekuatan fisik secara langsung pada individu tanpa seizin dari individu tersebut dengan tujuan membatasi gerak dari pasien. Mossa (2009), memaparkan bahwa restrain biasanya digunakan untuk melindungi pasien dan orang lain saat pengobatan dan terapi verbal tidak mencukupi serta mengendalikan pasien yang berpotensi melakukan kekerasan. Restrain dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, restrain lingkungan, restrain fisik, dan restrain kimia.
Menurut Royal College of Nursing (2008) dalam Gallagher (2013) dikatakan bahwa terdapat lima jenis restrain yang digunakan, yaitu restrain fisik, kimia, mekanik, teknologi dan psikologi. Restrain jenis fisik melibatkan dengan cara meretensi gerakan pasien dengan melibatkan tubuh/fisik pasien, dengan cara dipegang/diikat pada bagian lain, restrain jenis kimia dilakukan dengan memberikan obat-obatan jenis penenang, jenis mekanik dengan menggunakan rompi “posey” yang diikatkan ke belakang tubuh pasien pada bagian lengan rompi atau dengan cara membatasi gerak pasien dengan menggunakan penghalang tempat tidur, atau menghalangi gerak pasien dengan mendekatkan meja/kursi ke tempat tidur, restrain jenis teknologi dengan menggunakan alarm pada tempat tidur/pintu kamar pasien atau penggunaan kamera pengintai, sedangkan restrain jenis psikologi dengan cara memberitahu pasien/memberikan batasan kapan harus turun/bergerak dari tempat tidur yang dapat menyalahi hak kebebasan, martabat, dan otonomi pasien. Restrain jenis fisik umumnya banyak digunakan oleh perawat di ranah pelayanan untuk mengurangi risiko gangguan perawatan dan melindungi keselamatan pasien, tetapi masih terdapat kesalahpahaman tentang manfaat dari restrain tersebut, rumah sakit sebagai ranah pelayanan keperawatan, pasti memiliki Standar Prosedur Operasional (SPO) yang mengacu kepada teori tertentu guna mengatur keseragaman 18 dan menjamin mutu pelayanan. Health Care (2003) menetapkan durasi dilakukannya restrain tidak melebihi 12 jam. Perbedaan standar waktu ini mungkin terjadi mengingat belum adanya kesepakatan dan standar baku dunia memilki kebijakan masing-masing (Kandar dan Pambudi, 2013).
Ada beberapa jenis restrain yang digunakan pada orang dewasa, antara lain :
a. Restrain jaket atau rompi dengan tali yang dapat diikat ke kerangka tempat tidur dibawah kasur.
Digunakan untuk menjamin keselamatan klien yang bingung atau sedasi di tempat tidur atau kursi roda.
b. Restrain sabuk atau restrain tali tubuh, digunakan untuk menjamin keamanan semua klien yang akan dipindahkan menggunakan brankar atau kursi roda.
c. Restrain sarung tapak tangan atau sarung tangan, digunakan untuk mencegah klien yang bingung, menggunakan tangan atau jari mereka untuk mencakar atau mencederai diri sendiri.
d. Restrain ekstremitas yang umumnya terbuat dari kain, digunakan untuk melakukan imobilisasi terhadap ekstremitas, terutama untuk alasan terapeutik.
Tujuan penggunaan restrain menurut Ernawati dan Wiwin (2019) adalah sebagai berikut:
1.) Untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan.
2.) Memfasilitasi pemeriksaan.
3.) Membantu dalam pelaksanaan uji diagnostik dan prosedur terapeutik.
4.) Mempertahankan pada posisi yang diinginkan.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan pengekangan fisik (restrain) pada klien gangguan jiwa, sesuai Standar Prosedur Operasional di RSJD dr.Samsi Jacobalis, adalah sebagai berikut:
1. Beri suasana yang menghargai dengan supervisi yang adekuat, karena harga diri klien berkurang karena pengekangan.
2. Siapkan jumlah staf yang cukup dengan alat pengekangan yang aman dan nyaman.
3. Tunjuk satu orang perawat sebagai ketua tim.
4. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya pada klien dan staf agar dimengerti dan bukan hukuman
5. Jelaskan perilaku yang mengindikasikan pelepasan pada klien dan staf.
6. Jangan mengikat pada pinggir tempat tidur, ikat dengan posisi anatomis, ikatan tidak terjangkau oleh klien.
7. Lakukan supervisi dengan tindakan terapupeutik dan pemberian rasa nyaman. Perawatan pada daerah pengikatan (Pantau kondisi kulit: warna, temperature, sensasi: lakukan latihan gerak pada tungkai yang diika secara bergantian setiap 2 jam; Lakukan perubahan perubahan posisi tidur dan periksa tanda-tanda vital setiap 2 jam).
8. Bantu pemenuhan kebutuhan nutrisi, eliminasi, hidrasi dan kebersihan diri.
9. Libatkan dan latih klien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara bertahap.
10. Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya setelah ikatan dibuka satu persatu secara bertahap, misalnya setelah ikatan dibuka satu persatu secara bertapah, kemudian dilanjutan dengan pembatasan gerak kemudian kembali ke lingkungan semula.
11. Dokumentasikan seluruh tindakan beserta respon klien.
Indikasi restrain meliputi perilaku amuk yang membahayakan diri dan orang lain, perilaku agitasi yang tidak dapat dikendalikan dengan pengobatan, ancaman terhadap integritas fisik yang berhubungan dengan penolakan pasien untuk istirahat, makan, dan minum, permintaan pasien untuk pengendalian perilaku eksternal, (Videbeck, 2008).
Restrain yang Aman Menggunakan Alat yang Bermanset Hasil penelitian Saseno (2013) tentang pengaruh tindakan restrain fisik dengan manset terhadap penurunan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia, menyimpulkan bahwa ada pengaruh tindakan restrain fisik dengan manset terhadap penurunan perilaku kekerasan. Untuk menjamin patient safety dalam tindakan restrain perlu dipilih alat restrain yang aman dan tidak melukai, tali restrain dibuat dari kain yang diberi manset sehingga lembut tetapi tetap kuat, dan penampang manset yang lebar menghindarkan cedera lecet pada bagian kulit ekstremitas yang dilakukan restrain.
Dampak Pemasangan Restrain
1). Luka atau lecet pada saat restrain Cedera fisik yang umumnya dialami oleh pasien yang menjalani restrain berupa ketidaknyamanan fisik, lecet pada area pemasangan restrain, peningkatan inkontinensia, ketidakefektifan sirkulasi, peningkatan risiko kontraktur, dan terjadinya iritasi kulit (Kandar, 2014).
2). Penyebab timbulnya luka atau lecet saat restrain Timbulnya luka atau lecet dan gangguan fisiologis pada tubuh pasien yang menjalani restrain sebagaimana dikemukakan oleh Kandar (2014) bahwa pasien yang mengalami ketidaknyamanan fisik diakibatkan adanya pemasangan restrain, pasien yang mengalami lecet terjadi akibat dari pemasangan restrain yang telalu kencang, pasien juga mengalami peningkatan inkontinensia yang disebabkan oleh terbatasnya mobilitas fisik klien yang berakibat pada ketidakmampuan klien untuk memenuhi kebutuhan eliminasinya, dan pasien mengalami ketidakefektifan sirkulai yang ditandai dengan terjadinya odem pada area pemasangan restrain.
3). Perawat memberikan lotion selama restrain Secara teknis seharusnya perawat memberikan lotion untuk mengantisipasi timbulnya gangguan fisik pada pasien serta menjaga kenyamanan pasien. Tidak diberikannya lotion pada pelaksanaan restrain salah satunya disebabkan kondisi pasien yang menyebabkan pasien secara emosional kurang siap sehingga tidak dapat melaksanakan semua prosedur restrain dengan baik.
Abraham, C dan Shanley (Faiqoh, 2009) mengemukakan bahwa salah satu stressor pada perawat pasien penyakit jiwa adalah karakteristik pasien penyakit jiwa yang negatif seperti sulit diajak berkomunikasi, agresif, dan lain-lain. Keadaan dimana tekanantekanan pekerjan lebih berat karena setiap hari mengurus dan merawat pasien penyakit jiwa mengharuskan perawat pasien penyakit jiwa untuk mampu mengendalikan dan bertindak sesuai dengan tata cara perawatan sehingga tidak membahayakan diri dan pasien. Keadaan yang rentan dapat menyebabkan stres tersebut juga dapat menyebabkan individu menjadi kurang dapat mengontrol diri dan tingkah lakunya. Keadaan ini dapat menyebabkan individu melakukan tindakan-tindakan yang disebut perilaku antisosial, termasuk perilaku agresif menyebabkan stres tersebut juga dapat menyebabkan individu menjadi kurang dapat mengontrol diri dan tingkah lakunya. Keadaan ini dapat menyebabkan individu 20 melakukan tindakan-tindakan yang disebut perilaku antisosial, termasuk perilaku agresif.
4). Kesulitan bergerak selama restrain Kesulitan bergerak selama restrain merupakan salah satu langkah untuk merendahkan tingkat agresifitas pasien. Restrain adalah terapi dengan alat-alat mekanik atau manual untuk membatasi pergerakan fisik pasien pada kondisi tertentu, dan merupakan intervensi terakhir jika perilaku pasien tidak dapat di atasi atau dikontrol dengan strategi perilaku atau modifikasi lingkungan (Widyodiningrat, R.,2009 dalam Wayan, 2014)
5). Pengikatan yang dilakukan terlalu kencang Pelaksanaan restrain pada pasien gangguan jiwa dengan perilaku agresifitas harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip menjaga hak asasi manusia, baik pada pasien maupun keluarga pasien. Malfasari (2014) mengemukakan bahwa pelindungan HAM pada pasien gangguan jiwa pelaksanaan restrain adalah menjadikan restrain bukan sebagai hukuman. International Bill of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak mendapatkan kekerasan baik itu kekerasaan fisik maupun mental. Jika restrain dilaksanakan karena alasan untuk menghukum pasien, berarti perorangan atau organisasi tersebut melanggar HAM.
6). Perlakuan kasar perawat selama restrain Perlakuan kasar yang dilakukan oleh perawat dalam pelaksanaan restrain sebenarnya tergantung dari kondisi pasien ketika mengalami perilaku kekerasan. Perawat yang merasa dirinya terancam ketika menjalankan restrain maka akan memunculkan sikap bertahan pada diri perawat sehingga seakan-akan sikap tersebut menjadi perilaku yang kasar kepada pasien. As’ad dan Sucipto (2010) mengemukakan bahwa perilaku agresifitas yang dilakukan pasien gangguan jiwa merupakan salah satu ancaman bagi kesehatan fisik dan psikologis perawat. Perawat cenderung menjadi korban dalam perilaku kekerasan pasien gangguan jiwa. Perawat harus menghadapi kekerasan secara fisik hampir setiap hari sehingga memunculkan sikap defensive dan hati-hati pada diri perawat dalam penanganan pasien gangguan jiwa.
Sumber:
Kozier, Barbara., (2010). Fundamentals of nursing: Conceps, Process, and Practice, 7^th Edition, ISBN
Perry & Potter., (2010). Fundamental of nursing,7^th Edition
RSJD. Dr.Samsi Jacobalis Bangka Belitung
https://repository.usahidsolo.ac.id/2344/4/Lulud%20Setyadi_Bab%202_20201...
file:///C:/Users/ASUS/Downloads/manuscript%20loli.pdf