PERMASALAHAN PENANGANAN ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA (ODGJ)

Pada panduan klasifikasi gangguan jiwa, gangguan mental atau yang lebih umum dikenal dengan “gangguan jiwa”, dikonseptualisasikan sebagai suatu perilaku klinis yang signifikan atau pola/sindrom psikologis yang ditemukan pada seseorang dan terkait dengan tekanan yang sedang terjadi (misalnya, gejala sakit) atau disabilitas (misalnya kerusakan fungsi satu atau beberapa area pening) atau dengan peningkatan resiko atas kematian, rasa sakit, diabilitas atau kebebasan.

Skizofrenia merupakan dua atau lebih dari karakteristik gejala delusi, halusinasi, gangguan bicara (disorganitation speech) misalnya inkoheren, tingkah laku katatonik dan adanya gejala-gejala negatif.

Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)

Berdasarkan Pasal 144 Undang Undang no 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, penanganan gangguan jiwa harus dilakukan dengan standar pelayanan kesehatan paripurna yang meliputi:

  1. Promotif: Promosi kesehatan adalah filosofi umum yang ide utamanya bahwa kesehatan atau kesejahteraan adalah pencapaian personal dan kolektif. Promosi kesehatan sebagai segala intervensi, berbasis lingkungan dan berbasis behavioral, yang berusaha menunjukkan dan memungkinkan perubahan pada status kesehatan individu dan populasi. Aspek ini dilakukan dengan melakukan sosialisasi perilaku sehat. Perilaku sehat ialah perilaku yang dilakukan untuk meningkatkan atau menjaga kesehatannya. Perilaku sehat yang senantiasa dilakukan akan menjadi suatu kebiasaan sehat. Promosi kesehatan jiwa dilakukan untuk mengembangkan kebiasaan positif dalam menjaga kesejahteraan jiwa seseorang. Perilaku ini diharapkan menjadi kebiasaan, maka promosinya dilakukan dari bentuk yang terkecil, sederhana, hingga terbesar sehingga mudah dilaksanakan sehari-hari. Pembentukan perilaku sehat jiwa tidak terlepas dari lingkungan hidup individu, misalnya keluarga, masyarakat, sekolah, kantor, dan ruang publik. Sebagai penanggung jawab kesejahteraan masyarakat Pemerintah memiliki tugas untuk mengembangkan peraturan yang berperspektif kesehatan jiwa.
  2. Preventif: Aspek preventif digunakan dalam penanganan kesehatan jiwa bertujuan untuk mencegah terjadinya resiko gangguan kejiwaan berkembang. Hal ini bertujuan untuk menekan permasalahan kejiwaan agar tidak meluas menjadi gangguan kejiwaan yang berat, maka mutlak dilakukan intervensi. Dalam aspek ini yang memiliki peran besar adalah psikolog, karena dapat melakukan intervensi di rumah tangga, masyrakat sekitar, sekolah, kantor dan lingkungan sosial lain tanpa menjadikan Orang Dengan Gangguan Jiwa (OGJD) takut dilabeli memiliki masalah kejiwaan.
  3. Kuratif: Pada aspek kuratif dilakukan dalam penanganan kesehatan jiwa lebih banyak menekankan pada intervensi medis. Dalam aspek ini yang sangat diharapkan peran dari dokter spesialis jiwa dan perawat kejiwaan, mereka merupakan tenaga profesional yang paling dibutuhkan untuk menyediakan pelayanan kuratif. Dibutuhkan pula sarana prasarana pelayanan kesehatan jiwa yang memadai di rumah sakit maupun puskesmas.
  4. Rehabilitatif: Pada tahap proses rehabilitasi penanganan kesehatan jiwa berbeda dengan rehabilitasi kesehatan umumnya. Aspek rehabilitatif bertujuan untuk mengembalikan fungsi personal dan sosial. Beriringan dengan perbaikan fungsi tersebut, OGJD masih tetap menjalankan prosedur kuratif yang berfungsi untuk mengontrol pemicu gangguan kejiwaan. Artinya pada aspek rehabilitatif dan kuratif tidak dapat dipisahkan dalam perbaikan kualitas hidup ODGJ.

Permasalahan Penanganan ODGJ

Negara memberikan tanggung jawab kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial dalam pengelolaan permasalahan kesehatan jiwa di masyarakat, Maka dibentuklah direktorat khusus yang fokus menangani isu kesehatan jiwa, pada Kementerian Kesehatan di sebut Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, sedangkan pada Kementerian Sosial dinamakan Direktorat Jendral Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial. Salah satu tugasnya adalah rehabilitasi penyandang masalah kesehatan jiwa. Upaya pemerintah dalam penanganan kesehatan jiwa hingga saat ini belum optimal, dapat terlihat dari belum tercerminnya struktur di Kementerian Kesehatan dan Sosial tersebut di daerah-daerah. Minimnya perhatian dari beberapa daerah terhadap kesehatan jiwa ditambah belum adanya payung hukum dalam bentuk undang-undang yang khusus untuk penanganan kesehatan jiwa membuat pelayanan kesehatan jiwa terabaikan.

Indonesia pernah memiliki Undang-undang Nomor 3 Tahun 1966 tentang Kesehatan Jiwa, namun UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku lagi setelah hadirnya UU Nomor 23 Tahun 1992. Seiring berjalannya waktu UU Nomor 23 Tahun 1992 juga dicabut dengan lahirnya UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan mengenai Kesehatan Jiwa hanya diatur dengan 7 pasal pada UU Nomor 36 Tahun 2009 Bab IX, yang menjadi sorotan adalah tidak idealnya proporsi perhatian yang yang diberikan antara kesehatan fisik dengan kesehatan psikis. Pengaturan yang tertuang masih sangat berorientasi pada kesehatan fisik, masih terlihat kurang memberikan porsi pada kesehatan psikis, kesehatan jiwa.

Akibat kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap kesehatan jiwa berdampak pada kurangnya kebijakan-kebijakan di pemerintah yang pro kesehatan jiwa. Minimnya perhatian secara otomatis berdampak pada pendanaan yang minim, dan kurangnya tindakan nyata di tingkat akar rumput yang memperhatikan kesehatan jiwa masyarakat. Sehingga yang terjadi dilapangan adalah semakin tumbuh suburnya gangguan-gangguan jiwa yang berujung pada disabilitas masyarakat.

Beberapa dampak dari minimnya perhatian pada kesehatan jiwa di masyarakat, yaitu:

  1. Sarana dan prasarana (untuk penanganan kesehatan jiwa) yang jauh dari mencukupi.
  2. Jumlah tenaga profesional dan fasilitas yang sangat sedikit.
  3. Tidak efisiennya sistem yang ada sekarang, karena berpusat di rumah sakit jiwa (RSJ).
  4. Tidak adanya sistem kesehatan mental yang berbasis masyarakat.
  5. Kesehatan mental tidak menjadi program prioritas di puskesmas.
  6. Anggaran Kementerian Kesehatan untuk kesehatan jiwa selalu dibawah 1% dan umumnya penggunaannya tidak tepat sasaran.
  7. Di Kementerian Kesehatan, organisasi yang menangani kesehatan mental hanya setingkat direktorat, berada di bawah dirjen layanan medis.
  8. Belum terpenuhinya hak-hak penderita, padahal Hak-hak mereka dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Azazi Manusia yang juga telah diadopsi dalam UUD 45 pasal 25H (1) yaitu, “setiap manusia mempunyai hak atas standar kehidupan yang cukup, bagi kesehatan diri sendiri dan keluarganya, yang mencakup tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan, serta pelayanan sosial yang penting”.
  9. Akses penderita terhadap layanan kesehatan sangat sulit, mengingat hampir semua RSJ terletak di ibukota propinsi. Bahkan masih ada provinsi yang belum mempunyai RSJ (seperti di Banten);
  10. Obat untuk penderita tidak tersedia di layanan primer, bila ada dengan jumlah yang sangat sedikit dan sangat ketinggalan jaman.
  11. Kualitas dan kuantitas layanan di rumah sakit jiwa sangat tidak mencukupi.
  12. Obat dengan kwalitas yang buruk.
  13. Jenis layanan lain yang direkomendasikan WHO umumnya tidak tersedia.
  14. Electro Convulsive Therapy masih menggunakan cara-cara kuno yang tidak manusiawi.
  15. Isolasi pasien masih menggunakan cara-cara ikatan di tempat tidur yang tradisional (pasung).
  16. Jumlah pegawai yang kurang membuat banyak RSJ mengunci penderita diruangnya sebelum jam 5 sore, mengabaikan hak-hak pasien untuk menikmati kehidupan yang normal.
  17. Tidak ada program jangkauan layanan ke masyarakat membuat banyak pasien yang kambuh hanya beberapa saat setelah kepulangan dari RSJ.
  18. Program edukasi dan promosi yang tidak pernah ada. Apalagi program pencegahan, sama sekali tidak pernah terdengar.

Salah satu penyebab masih begitu banyaknya penderita gangguan jiwa tidak mendapatkan pengobatan adalah kurang memadainya informasi tentang kesehatan jiwa. kurangnya informasi yang memadai kepada publik bahwa gangguan kejiwaan adalah masalah medis yang dapat diobati. Ketidaktahuan ini bukan hanya terjadi di pedesaan atau di antara masyarakat dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang rendah, namun merata di semua kelas masyarakat. Untuk itu dibutuhkan suatu kegiatan sosialisasi informasi yang bersifat masif, konsisten dan sistemik, yang menerangkan kepada publik tentang gangguan kejiwaan dan penanganannya.

Sumber: Balitbang Kemenkes RI. 2017. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

Prabowo, Eko. 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: Universitas Diponegoro.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.

Penulis: 
Ns. Nurya, S. Kep
Sumber: 
Perawat RSJD dr. Samsi Jacobalis Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Artikel

02/12/2024 | Gita Riskika,S.Farm.
29/11/2024 | Gita Riskika,S.Farm.
28/11/2024 | Rakhmawati Tri Lestari, S.Psi., M.Psi.
28/11/2024 | Zurniaty, , S. Farm., Apt
26/11/2024 | Ns..Sri Rahmawat,AMK,S.Kep.
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt
30/06/2016 | Wieke Erina Ariestya, S.Kep.Ners
30/11/2022 | Zurniaty, S. Farm., Apt
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt

ArtikelPer Kategori