PERAN DAN UPAYA RUMAH SAKIT DALAM PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

Jaminan Kesehatan Nasional adalah program pemerintah dengan tujuan untuk memberikan kepastian jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera. BPJS Kesehatan adalah badan yang menyelenggarakan program jaminan kesehatan, implementasinya telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Dengan telah disahkan Undang-Undang tentang  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial No 24 tahun 2011. maka PT Askes (Persero) dinyatakan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan. Pihak BPJS Kesehatan bertugas melakukan pengawasan yang serius pada setiap rumah sakit dalam implementasi tarif INA-CBGs.        

INA-CBG's adalah sebuah sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit yang diderita pasien. Cara pembayaran perawatan pasien berdasarkan diagnosis-diagnosis atau kasus-kasus yang relatif sama. Sistem pembayaran pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan mutu, pemerataan dan jangkauan dalam pelayanan kesehatan yang menjadi salah satu unsur pembiayaan pasien berbasis kasus campuran, merupakan suatu cara meningkatkan standar pelayanan kesehatan rumah sakit.  

Sistem INA-CBGs merupakan sistem kodifikasi dari diagnosis akhir dan tindakan/prosedur yang menjadi output pelayanan, berbasis pada data costing dan coding penyakit mengacu International Classification of Diseases (ICD) yang disusun WHO dengan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-Clinical Modifications untuk tindakan/prosedur. Tarif INA-CBGs mempunyai 1.077 kelompok tarif terdiri dari 789 kode group/kelompok rawat inap dan 288 kode kelompok rawat jalan. Pengelompokan kode diagnosis dan prosedur dilakukan dengan menggunakan grouper United Nations University (UNU Grouper). UNU Grouper adalah grouper case-mix yang dikembangkan oleh UNU Malaysia (Kemenkes, 2014). Untuk tarif INA-CBG’s dikelompokan dalam 4 jenis RS, yaitu RS kelas D, C, B, dan A yang ditentukan berdasarkan akreditasi rumah sakit (BPJS Kesehatan, 2014).

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB

Untuk mendapatkan hasil grouper yang benar diperlukan kerjasama yang baik antara dokter dan koder. Kelengkapan rekam medis yang ditulis oleh dokter akan sangat membantu koder dalam memberikan kode diagnosis dan tindakan/prosedur yang tepat. Berikut tugas dan tanggung jawab dari dokter dan koder serta verifikator klaim.

DOKTER

Tugas dan tanggung jawab dokter adalah menegakkan dan menuliskan diagnosis primer dan diagnosis sekunder sesuai dengan ICD-10, menulis seluruh tindakan/prosedur sesuai ICD-9-CM yang telah dilaksanakan serta membuat resume medis pasien secara lengkap dan jelas selama pasien dirawat di rumah sakit.

KODER

Tugas dan tanggung jawab seorang koder adalah melakukan kodifikasi diagnosis dan tindakan/prosedur yang ditulis oleh dokter yang merawat pasien sesuai dengan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan/prosedur yang bersumber dari rekam medis pasien. Apabila dalam melakukan pengkodean diagnosis atau tindakan/prosedur koder menemukan kesulitan ataupun ketidaksesuaian dengan aturan umum pengkodean, maka koder harus melakukan klarifikasi dengan dokter.

Untuk menjalankan sistem INA CBGs rumah sakit harus sudah memiliki clinical pathway untuk setiap diagnosa. Clinical pathway adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan kesehatan lainnya. Manajemen rumah sakit disarankan untuk membuat rencana clinical pathway, membentuk tim clinical pathway, meningkatkan motivasi staf rumah sakit dan menyosialisasikan program pada semua staf rumah sakit, Karena dengan diberlakukannya clinical pathway dapat memperbaiki proses pelayanan.

Selain clinical pathway di era JKN juga telah dibentuk formularium obat atau disebut Formularium Nasional / Fornas. Formularium merupakan suatu daftar obat yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan medis dengan jenis obat yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien. Berkaitan dengan obat, formularium nasional sebenarnya dapat mempermudah dalam perencanaan dan penyediaan obat, serta meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan. Formularium nasional daftar obat ini disusun oleh Komite Nasional Penyusunan Formularium Nasional.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem INA-CBGs ada beberapa hal yang sebaiknya dilakukan rumah sakit agar pemberlakuan sistem INA-CBGs dapat berjalan dengan baik. Beberapa upaya yang sebaiknya dilakukan rumah sakit adalah:

1. Membangun Tim Rumah Sakit

Manajemen dan profesi serta komponen rumah sakit yang lain harus mempunyai persepsi dan komitmen yang sama serta mampu bekerja sama untuk menghasilkan produk pelayanan rumah sakit yang bermutu dan cost efective. Bukan sekedar untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai tim semua komponen rumah sakit harus memahami tentang konsep tarif paket, dimana dimungkinkan suatu kasus atau kelompok CBG tertentu mempunyai selisih positif dan pada kasus atau kelompok kasus CBG yang sama pada pasien berbeda ataupun pada kelompok CBG lain mempunyai selisih negatif. Surplus atau selisih positif pada suatu kasus atau kelompok CBG dapat digunakan untuk menutup selisih negatif pada kasus lain atau kelompok CBG lain (subsidi silang). Sehingga pelayanan rumah sakit tetap mengedepankan mutu pelayanan dan keselamatan pasien.

2. Meningkatkan Efisiensi

Efisiensi tidak hanya dilakukan pada sisi proses seperti penggunaan sumber daya farmasi, alat medik habis pakai, lama rawat, pemeriksaan penunjang yang umumnya menjadi area profesi tetapi juga pada sisi input seperti perencanaan dan pengadaan barang dan jasa yang umumnya menjadi area/tanggung jawab menejemen. Sisi proses umumnya lebih menekankan pada aspek efektifitas sedangkan sisi input umumnya lebih menekankan aspek efisiensi. Keduanya harus mampu berinteraksi untuk menghasilkan produk pelayanan yang cost effective. Sisi proses dalam hal melakukan efisiensi juga harus mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan pelayanan yang berlebih dan tidak diperlukan (over treatment dan atau over utility). Seperti penggunaan/pemilihan obat yang berlebihan dan pemeriksaan penunjang yang tidak selektif dan tidak kuat indikasinya. Efisiensi juga harus dilakukan pada biaya umum seperti penggunaan listrik, air, perlengkapan kantor dan lain-lain. Inefisiensi pada sisi input maupun proses akan berpengaruh pada ongkos/biaya produksi pelayanan rumah sakit yang mahal.

3. Memperbaiki Mutu Rekam Medis

Tarif INA-CBGs sangat ditentukan oleh output pelayanan yang tergambar pada diagnosis akhir (baik diagnosis utama maupun diagnosis sekunder) dan prosedur yang telah dilakukan selama proses perawatan. Kelengkapan dan mutu dokumen rekam medis akan sangat berpengaruh pada koding, grouping dan tarif INA-CBGs.

4. Memperbaiki Kecepatan dan Mutu Klaim

Kecepatan dan mutu klaim akan mempengaruhi cash flow rumah sakit. Kecepatan klaim sangat dipengaruhi oleh kecepatan penyelesaian berkas rekam medis. Sehingga rumah sakit harus menata sistem pelayanan rekam medis yang baik agar kecepatan dan mutu rekam medis bisa memperbaiki dan meningkatkan cash flow rumah sakit.

5. Melakukan Standarisasi

Perlu terus dibangun standard input dan proses di tingkat rumah sakit. Standard input misalnya farmasi, alat medik habis pakai. Perlu dibuat formularium obat rumah sakit (perencanaan), perlu dibuat standar pengadaan obat rumah sakit (e-katalog dan atau lelang), standar penulisan resep misal dokter hanya menulis nama generik sedangkan obat yang diberikan berdasar hasil/perolehan pengadaan. Standar proses misalnya PPK/SPO dan atau clinical pathway. Keputusan/penetapan standar proses akan sangat berpengaruh pada pembuatan keputusan pada standar input.

6. Membentuk Tim Casemix/Tim INA-CBG Rumah Sakit

Tim Case-mix/Tim INA-CBGs rumah sakit akan menjadi penggerak membantu melakukan sosialisasi, monitoring dan evaluasi implementasi INA-CBGs di rumah sakit.

7. Memanfaatkan Data Klaim

Data INA-CBGs rumah sakit dapat digunakan/dimanfaatkan tidak hanya untuk klaim tetapi juga dapat digunakan untuk menilai performance rumah sakit dan performance SDM khususnya profesi dokter. Data INA-CBGs bisa juga digabungkan dengan data HIMS (Health Information Management System) bahkan bisa dibandingkan dengan rumah sakit lain yang sekelas. Jadi data INA-CBGs dan data klaim dapat digunakan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan/kebijakan tingkat rumah sakit.

8. Melakukan Reviu Post-Claim

Reviu post-claim yang dilakukan secara berkala sangat penting dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian biaya dan mutu dalam pelayanan yang akan diberikan. Idealnya kegiatan reviu ini melibatkan seluruh unit yang ada di rumah sakit baik manajemen, tenaga professional, serta unit penunjang maupun pendukung dan dilakukan dengan data yang telah dianalisis oleh tim case-mix rumah sakit.

9. Pembayaran Jasa Medis

Perubahan metode pembayaran rumah sakit dengan metode paket INA-CBGs sebaiknya diikuti dengan perubahan pada cara pembayaran jasa medis. Pembayaran jasa medis sebaiknya disesuaikan dengan menggunakan sistem remunerasi berbasis kinerja. Remunerasi merupakan imbalan yang diberikan kepada seseorang berkaitan dengan kompetensi yang dimilikinya dan kinerja yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Kristanti, 2013). Apabila karyawan merasa bahwa kompensasi yang mereka terima tidak memadai maka prestasi kerja, kepuasan kerja, dan motivasi kerja menurun secara drastis. (Darmawan, 2008).

10. Untuk masa yang akan datang diharapkan seluruh rumah sakit provider JKN bisa berkontribusi untuk mengirimkan data koding dan data costing sehingga dapat dihasilkan tarif yang mencerminkan actual cost pelayanan di rumah sakit.

Sumber : Permenkes No 27 Tahun 2014

Penulis: 
Sri Chandra Dewi, SKM (Perekam Medis)

Artikel

18/11/2025 | Sulaini, S.Kep.,Ns
17/11/2025 | Sieftia Lianty, S.Kep, Ners
07/11/2025 | Mewa Susnita, S.Kep, Ners
07/11/2025 | Mardiah S.Kep
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt
30/06/2016 | Wieke Erina Ariestya, S.Kep.Ners
30/11/2022 | Zurniaty, S. Farm., Apt
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt

ArtikelPer Kategori