PENDAHULUAN
Didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, khususnya Pasal 55 menyebutkan tentang kewajiban lapor diri bagi pecandu narkotika ke pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitas medis dan sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan sosial.
Sementara didalam Pasal 103 ayat (1) menyebutkan bahwa: Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat: memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi medis bisa diperoleh melalui upaya sukarela atau ditentukan oleh hukum. Rehabilitasi medis melalui upaya sukarela atau atas inisiatif orangtua diakomodasi melalui program wajib lapor, yang dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Rehabilitasi medis yang ditentukan oleh hukum dijabarkan dalam Peraturan Bersama tujuh kementerian/lembaga negara pada tahun 2014 tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, yang mana Kementerian Kesehatan merupakan salah satunya.
Ditinjau dari garis besar Peraturan Bersama tampak menekankan pada pentingnya rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dibandingkan pemenjaraan. Adapun pelaksanaan rehabilitasi diselenggarakan pada fasilitas rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial.
Adapun tujuan utama dari program wajib lapor adalah untuk memenuhi hak pengguna narkotika, selain juga pengguna psikotropika dan zat adiktif lainnya (kesemuanya disebut NAPZA) dalam mendapatkan pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi medis atau sosial. Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada mensyaratkan adanya peran aktif tenaga kesehatan dalam melakukan asesmen, menyusun rencana terapi, dan memberikan rekomendasi atas rencana terapi rehabilitasi yang dibutuhkan oleh pengguna NAPZA untuk dapat pulih dari gangguan penggunaan NAPZA.
Program wajib lapor secara resmi dimulai pada akhir tahun 2011, dimana dengan adanya program ini diharapkan lebih banyak menarik kesadaran pecandu dan atau keluarganya untuk melakukan lapor diri, sehingga semakin banyak pecandu narkotika yang menerima perawatan terkait perilaku ketergantungannya. Diharapkan dengan semakin meningkatnya jumlah pengguna NAPZA yang melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor, akan semakin sedikit pengguna NAPZA yang menjalani pemenjaraan.
TATA CARA PELAKSANAAN WAJIB LAPOR DAN REHABILITASI MEDIS
1. Penetapan Fasilitas Rehabilitasi Medis Sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL)
Proses awal dalam penetapan fasilitas rehabilitasi medis sebagai IPWL yang akan menyelenggarakan proses wajib lapor dan rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika diawali dengan pengusulan oleh pemilik fasilitas pelayanan kesehatan (Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/kota, pimpinan TNI/POLRI, atau pimpinan instansi pemerintah lainnya) kepada Menteri Kesehatan.
Untuk dapat ditetapkan sebagai IPWL oleh Menteri Kesehatan, fasilitas rehabilitasi medis harus memenuhi satu dari dua syarat berikut: yang pertama telah memberikan pelayanan terapi rehabilitasi NAPZA sebelumnya: dan yang ke dua mempunyai tenaga kesehatan yang sekurang-kurangnya terdiri dari dokter dan perawat yang pernah menerima pelatihan di bidang gangguan pengunaan NAPZA yang tercatat di Kementerian Kesehatan.
Selain syarat tersebut, fasilitas rehabilitasi medis bagi pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Rawat jalan: mempunyai ruang periksa dan intervensi psikososial; mempunyai program rawat jalan berupa layanan simtomatik dan intervensi psikososial sederhana; dan mempunyai prosedur operasional yang baku untuk layanan rehabilitasi medis NAPZA rawat jalan.
2. Rawat inap: mempunyai tempat tidur untuk durasi perawatan sesingkatnya tiga bulan; mempunyai program rehabilitasi medis NAPZA rawat inap; mempunyai prosedur operasional yang baku untuk layanan rehabilitasi medis NAPZA rawat inap; dan mempunyai prosedur keamanan minimal, yang terdiri dari: pencatatan pengunjung yang masuk dan keluar; pemeriksaan fisik dan barang bawaan setiap masuk program agar tidak membawa berbagai NAPZA dan benda tajam ke dalam fasilitas rehabilitasi; tugas penjaga keamanan; dan sarana dan prasarana yang aman agar pasien terhindar dari kemungkinan melukai dirinya sendiri, melukai orang lain, dan melarikan diri.
2. Penetapan Tim Pelaksana Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis di IPWL
Yang dimaksud dengan Tim Pelaksana Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis adalah sekelompok tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang terlatih dalam bidang kedokteran adiksi, khususnya yang telah mengikuti pelatihan modul asesmen dan penyusunan rencana terapi.
Penunjukkan tim dilakukan oleh pimpinan IPWL, yaitu Direktur Rumah Sakit Umum/Jiwa milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah, Direktur/Kepala Rumah Sakit milik TNI/POLRI, Kepala Balai Kesehatan Masyarakat, Kepala Puskesmas atau Kepala Lembaga Rehabilitasi Medis milik Pemerintah, Pemerintah Daerah atau Masyarakat.
Masa kerja tim ditetapkan oleh pimpinan IPWL paling singkat 2 (dua) tahun. Tim pelaksana wajib lapor dan rehabilitasi medis terdiri atas dokter sebagai penanggung jawab dan tenaga kesehatan lain yang terlatih di bidang asesmen gangguan penggunaan NAPZA. Untuk proses penerimaan wajib lapor, tim bekerja secara profesional dalam melaksanakan tugasnya yang terdiri dari: pelaksanaan asesmen, yang meliputi wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik dengan menggunakan formulir asesmen wajib lapor; penyusunan rencana rehabilitasi; dan program rehabilitasi rawat jalan atau rawat inap.
3. Prosedur Layanan Wajib Lapor dan Rehabilitasi Medis
a. Prosedur Layanan Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang Datang Secara Sukarela
Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang melakukan wajib lapor dan rehabilitasi medis menjalankan prosedur layanan yang meliputi:
1) Asesmen menggunakan formulir asesmen wajib lapor dan rehabilitasi medis sebagaimana tercantum dalam formulir I terlampir.
2) Tes urin (urinalisis) untuk mendeteksi ada atau tidaknya narkotika dalam tubuh pecandu.
3) Pemberian konseling dasar adiksi NAPZA, yang ditujukan untuk mengkaji pemahaman pasien atas penyakitnya serta pemahamannya akan pemulihan. Pemberian konseling dasar juga dimaksudkan untuk meningkatkan motivasi pasien dalam melakukan perubahan perilaku ke arah yang lebih positif.
4) Pecandu narkotika yang memiliki riwayat penggunaan NAPZA dengan cara suntik, diberikan konseling pra-tes HIV dan ditawarkan untuk melakukan pemeriksaan HIV mengikuti prosedur yang berlaku.
5) Pemeriksaan penunjang lain (bila perlu).
6) Penyusunan rencana terapi meliputi rencana rehabilitasi medis da/ atau sosial, dan intervensi psikososial.
7) Rehabilitasi medis sesuai rencana terapi yang dapat berupa rawat jalan atau rawat inap.
Jenis rehabilitasi medis
1) Rehabilitasi rawat jalan, dapat berupa simtomatik atau rumatan.
2) Rehabilitasi rawat inap.
b. Prosedur Layanan Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang Sedang Menjalani Proses Penyidikan (Tersangka), Penuntutan atau Persidangan (Terdakwa), dan yang Telah Mendapatkan Penetapan/Putusan Pengadilan (Terpidana).
1) Prosedur Penyerahan
2) Tata Laksana Rehabilitasi Medis
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2015. Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Wajib Lapor Dan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.