Sekolah adalah sarana pendidikan yang bertujuan menyempurnakan perkembangan jasmani dan rohani anak. Peristiwa pertama kali masuk sekolah adalah moment yang berkesan bagi anak karena terdapat berbagai macam perasaan yang dialami mulai dari menyenangkan, menakjubkan, menegangkan, bahkan menakutkan. Pada anak yang sudah memasuki usia sekolah, terjadi perubahan aktivitas. Kehidupan rumah yang biasa dijalani digantikan dengan kehidupan sekolah dimana anak akan menemui banyak hal-hal baru mulai dari bangunan fisik dan perlengkapannya, orang-orang yang ditemui hingga adanya aturan-aturan yang harus diikuti. Sekolah kemudian memiliki arti penting karena menjadi sarana pengembangan prestasi bagi anak. Saat memasuki usia matang, anak akan diarahkan memasuki sekolah dasar oleh orangtuanya. Namun pada kenyataannya tidak semua anak siap untuk ke sekolah walaupun sudah berada pada usia matang memasuki sekolah dasar. Tidak jarang dijumpai anak menolak ke sekolah ataupun menolak masuk kelas karena merasa belum siap. Kondisi ini cukup beresiko bagi pemenuhan pendidikan dasar anak ketika terus berlanjut dan tidak ditangani dengan baik. School Refusal adalah salah satu permasalahan yang seringkali terjadi dimana kondisi yang tampak dipermukaan adalah keengganan anak untuk pergi kesekolah. Padahal kondisi yang terjadi tidak sesederhana yang tampak. Anak yang mengalami School refusal menghindari sekolah karena adanya tekanan emosi, perasaan takut dan cemas menghadapi sekolah. Kondisi ini dapat terjadi kapan pun, mulai dari usia sekolah dasar sampai sekolah menengah ke atas. Menurut Kearney (Ampuni &Andayani, 2006) seorang anak usia sekolah mengalami school refusal jika 1. Ia sama sekali meninggalkan sekolah (absen terus-menerus), atau 2. Ia masuk sekolah tetapi kemudian meninggalkan sekolah sebelum jam sekolah usai, 3. Ia mengalami perilaku bermasalah yang berat setiap pagi saat menjelang pergi kesekolah, misalnya mengamuk (tantrum), 4. Ia pergi ke sekolah dengan kecemasan yang luar biasa dan disekolah berulang kali mengalami masalah ( misalnya: pusing, ke toilet, berkeringat diingin). Oleh Gerald & Drew (Ampuni & Andayani, 2006) School refusal ini dibagi menjadi dua tipe: 1. Tipe I (Akut), Tipe ini puncaknya terjadi pada anak sekitar usia 5-8 tahun. School refusal akut terjadi dalam kurun waktu antara 2 minggu sampai satu tahun. Tipe ini memiliki prognosis lebih baik. 2. Tipe II (Kronis), terjadi selama 2 tahun ajaran atau lebih.Tipe ini puncaknya terjadi pada anak tingkat SLTP atau SLTA dan memperlihatkan kesulitan lebih serius. Tipe ini memiliki prognosis kurang bagus. Mogok sekolah atau School refusal biasanya mulai timbul saat bangun pagi. Anak akan menunjukkan berbagai macam gejala seperti mual, muntah, diare, pusing dan lain sebagainya sejak saloki8juyhtgrfat mempersiapkan diri ke sekolah. Anak menjadi sangat sensitif bahkan mudah marah yang berakibat pada terpancingnya emosi orangtua. Orangtua akan beranggapan bahwa anaknya sedang pura-pura sakit sehingga terjadi konflik yang menyebabkan anak menangis bahkan mengamuk. Namun ketika jam berangkat sekolah telah lewat orangtua akan mengizinkan anak untuk tidak berangkat sekolah dan anak tiba-tiba berubah menjadi ceria kembali dan sehat seperti tidak terjadi apa-apa. Hal seperti ini bila dibiarkan akan berakibat buruk pada anak. Menurut Kearey (Ampuni & Andayani, 2006) apabila anak sering dibiarkan absen dari sekolah, ia akan semakin sulit untuk kembali beraktivitas sekolah secara normal. Beberapa hal yang menyebabkan anak mengalami School refusal antara lain: 1. Menghindari objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang mendatangkan distres 2. Menghindari situasi yang tidak nyaman baik dalam interaksi teman sebaya ataupun kegiatan akademik 3.Mencari perhatian dari signifikan others diluar sekolah 4. Mengejar kesenangan diluar sekolah Menurut Fremont (2003) munculnya school refusal juga dikaitkan dengan faktor keluarga, beberapa ditemukan karena adanya hubungan tidak sehat dalam interaksi keluarga seperti ketergantungan yang berlebihan antar anggota keluarga, masalah komunikasi serta masalah pembagian peran dalam keluarga. Selain itu anak dengan school refusal juga memiliki kepribadian yang sensitif, peka terhadap kritik dan evaluasi. Biasanya pengelolaan emosi yang dimiliki kurang baik. Tritmen untuk mengatasi anak yang mengalami school refusal difokuskan pada mengembalikan anak ke sekolah sedini mungkin. Freemont (2003) juga menyebutkan bahwa beberapa trimen yang dapat dilakukan meliputi edukasi, konsultasi, perilaku, intervensi yang berkaitan dengan keluarga bahkan farmakoterapi (obat-obatan) jika diperlukan. Sangat penting bagi orangtua untuk memahami gejala school refusal sehingga dapat melakukan tindakan prefentif sebelum terjadi. Ketika akan menunjukkan gejala school refusal, orangtua tidak perlu panik namun selidiki terlebih dahulu penyebab terjadinya school refusal, perkuat komunikasi dengan anak, dengarkan keluhan anak dan selalu berkomunikasi dan kerjasama dengan guru disekolah serta berikan support kepada anak. Namun jika masih belum teratasi orangtua dapat meminta bantuan pada psikolog atau psikiater. Referensi: Fremont,W.,P. 2003. School Refusal In Children And Adolescent. American Academy Of Family Physician Vol 6 ;68:1555-60,1563-4. Ampuni, S & Andayani, B .2007. Memahami anak dan remaja dengan kasus mogok sekolah: gejala, penyebab, struktur kepribadian, profil keluarga, dan keberhasilan penanganan. Jurnal psikologi fakultas psikologi universitas gadjah mada volume 34, no. 1, 55 – 75.