Kehadiran seorang anak merupakan suatu hal yang didambakan oleh setiap keluarga. Namun sayangnya tidak semua keluarga diberkati dengan kehadiran anak. Kondisi itu tentunya disebabkan oleh berbagai macam alasan yang akhirnya menyebabkan pasangan menikah tidak bisa memiliki keturunan secara biologis. Adopsi merupakan salah satu jalan yang dipilih oleh beberapa orang tua untuk memiliki anak. Menurut Meliala (Pramesti & Arianti, 2023) ada bermacam-macam alasan atau tujuan dilakukan adopsi atau pengangkatan anak, yaitu:
1. Adanya rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau orang tua anak yang tidak mampu merawat anaknya.
2. Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan merawat dihari tua
3. Ada kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah maka akan mendapatkan anak sendiri
4. Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada
5. Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja
6. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan / kebahagiaan keluarga.
Keputusan untuk melakukan adopsi pada suatu keluarga bukanlah suatu hal yang mudah mengingat setiap anak yang akan diadopsi memiliki latar belakang yang beragam. Menurut peraturan pemerintah Indonesia No 54 Tahun 2007 pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaan prosesnya, adopsi harus dilakukan sesuai dengan syarat dan prosedur sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Salah satu syarat anak untuk diadopsi yaitu belum berusia 18 tahun, untuk itu lah sering dijumpai orangtua melakukan adopsi pada anak dengan usia masih bayi. Seiring waktu, orangtua yang melakukan adopsi tidak jarang diliputi kecemasan terkait status anak Adopsi nya tersebut. Beberapa orang tua adopsi memilih merahasiakan status adopsi, ada juga yang sejak dini sudah mengenalkan status anak yang diadopsi nya. Pada dasarnya keputusan untuk memberitahukan ataupun merahasiakan status anak yang diadopsi memiliki tujuan masing- masing. Namun begitu anak yang diadopsi berhak mengetahui statusnya, semakin cepat semakin baik. Permasalahan yang seringkali muncul adalah kebingungan orangtua untuk menyampaikan status anak tersebut karena berpotensi memunculkan reaksi-reaksi tertentu seperti perubahan perilaku ataupun reaksi psikologis lain yang mungkin tidak sesuai dengan harapan.
Menurut Anggunsari (2014) penyampaian informasi yang dirasa paling tepat adalah dengan cara diberitahukan secara langsung oleh kedua orang tua yang mengadopsi kepada anak yang diadopsi. Sebagai orangtua yang membesarkan tentu lebih mengetahui keadaan anak tersebut serta memiliki kesempatan untuk meyakinkan anak bahwa kenyataan tentang statusnya ini tidak mengubah kasih sayang padanya. Orang tua mempunyai peluang untuk mengendalikan reaksi anak menghadapi kenyataan yang mungkin dapat mengguncangnya. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai strategi untuk menyampaikan status seorang anak adopsi, salah satunya melalui komunikasi dengan bercerita secara langsung atau storytelling. Storytelling merupakan sebuah seni bercerita yang dapat digunakan sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai kepribadian pada anak yang dilakukan tanpa perlu memerintah sang anak. Storytelling merupakan suatu cara yang dilakukan untuk menyampaikan suatu cerita kepada pendengar, dengan menggunakan suara yang lantang, gerakan tubuh serta ekspresi wajah yang menggambarkan isi cerita (Mujanah, R, 2021). Penggunaan storytelling dalam pengungkapan adopsi melibatkan bagaimana keluarga bercerita mengenai pengalaman dan bagaimana bentuk suatu cerita dari keluarga. Menyampaikan cerita keluarga seperti apa yang telah keluarga lalui, nilai yang dianut dalam keluarga, identitas siapa yang diketahui dan tidak. Sesuai yang dikatakan oleh Langellier & Peterson (Mujanah, R, 2021) bahwa storytelling adalah sebuah tindakan bertutur kata untuk menyampaikan karakter, kepekaan, nilai-nilai dan identitas. Termasuk dalam penyampaian family secret mengenai cerita adopsi anak dalam keluarga. Storytelling dapat dilakukan kapan saja, seperti saat setelah makan, sebelum anak tidur ataupun saat diminta anak. Cerita yang disampaikan harus mudah dipahami, membangun kesan yang positif, serta berkembang seiring usia anak bertambah. Memang tidak mudah bagi orangtua adopsi untuk mengungkapkan status anak yang diadopsinya, namun hal tersebut harus dilakukan. Memulai dengan cerita atau dongeng sederhana yang bermakna dapat dilakukan untuk menumbuhkan image positif pada anak yang diadopsi seiring waktu penyampaian status harus diungkapkan.
Referensi:
Anggunsari, R. 2014. Story telling dalam penyampaian rahasia keluarga mengenai pengadopsian anak oleh orang tua terhadapanak adopsinya. Commonline. Volume : 3 / No. : 2 / Pub. : 2014-06 diakses tgl 07 /12/2023 https://journal.unair.ac.id/COMN@story-telling-dalam-penyampaian-rahasia...
Munajah Robiatul, 2021. Modul Pedoman Bercerita (Storytelling) Untuk Guru Sekolah Dasar. Penerbit Universitas Trilogi. ISBN : 978-623-97584-2-4
Pramesti, V A & Arianti R, 2023. Anak adopsi bukan suatu aib bagiku: kebersyukuran pada anak yang sudah mengetahui statusnya sebagai anak adopsi di purwokerto dan ungaran. Jurnal kajian psikologi dan keset mental (KPKM) vol. 1 No 1,2023,1-15. https://doi.org/10.35912/kpkm.v1i1.1948
jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2007/54tahun2007PP.htm