Pada masa pandemi Covid-19 yang terjadi pada tiga tahun terakhir ini telah membawa begitu banyak dampak dan perubahan bagi semua orang seperti pola hidup dan cara berinteraksi dengan orang lain. Namun, dampak yang paling menyakitkan dari pandemi Covid-19 ini ialah kehilangan orang-orang yang dikasihi; orangtua, kakek, nenek, abang, kakak, adik, anggota keluarga lain, dan juga teman. Kematian seseorang tersebut tidak hanya membuat kita kehilangan orang tersebut tetapi juga interaksi keseharian yang tidak lagi sama. Hal ini pun turut dirasakan dan dialami oleh anak-anak di masa itu.
Worden (dalam Sanghvi, 2020) menyatakan rasa duka atau dukacita (grief) adalah suatu peristiwa kehilangan yang berkaitan dengan kematian seseorang yang disayangi. Di dalam duka ini, kesedihan yang dirasakan mungkin dirasa tidak pernah berakhir dan turut menimbulkan transisi perubahan hidup yang besar di luar kendali individu. Duka ini menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku. Meskipun peristiwa kehilangan atau perpisahan dengan seseorang itu merupakan suatu pengalaman yang umum terjadi namun kehilangan orang yang dikasihi karena kematian bukan sesuatu yang mudah untuk diterima dan manifestasi ekspresi duka ini unik bagi tiap orang (Ferow, 2019; Holmes, 2014).
Bagi anak-anak, duka atas kematian seseorang yang mereka sayang akan tampak berbeda dari orang dewasa dan biasanya proses merasakan duka tersebut membingungkan bagi mereka. Pada anak dibawah usia 5 tahun biasanya memandang kematian sebagai suatu kejadian yang terjadinya sementara dan dapat berubah. Suatu keyakinan yang mereka dapatkan dari tontonan karakter kartun yang mereka lihat dimana tokoh kartun tersebut mati dan kemudian hidup kembali. Mereka berpikir bahwa orang yang mereka sayangi tersebut perginya hanya sebentar lalu akan kembali lagi setelah melakukan keinginan dari orang yang telah meninggal tersebut. Anak-anak diusia ini juga mungkin akan menangis satu menit dan kemudian akan bermain lagi. Perubahan mood tersebut tidak berarti bahwa anak-anak tidak sedih atau tidak lagi berduka. Disini, bermain menjadi salah satu mekanisme pertahanan diri yang dibentuk tanpa mereka sadari mereka mencegah rasa kesedihan yang mendalam dan berlebihan yang anak lihat dari orang-orang disekitarnya. Anak-anak diusia ini memahami kematian itu sesuatu yang tidak baik atau buruk dan mereka tidak menyukai yang namanya perpisahan, tetapi konsep “pergi selamanya / tidak akan kembali” belum mereka pahami sepenuhnya.
Sedangkan pada anak-anak di usia 6 keatas, mereka mulai menyadari tentang apa itu kematian dan mulai dapat menghadapi situasi tersebut, meskipun dalam diri mereka masih berusaha meyakini bahwa peristiwa tersebut tidak sedang terjadi. Akibat dari kehilangan tersebut, tidak jarang dari mereka tidak siap untuk menghadapi dan menerima situasi tersebut. Reaksi yang yang biasanya ditunjukkan anak pada usia ini adalah murung, sedih, diam, bahkan marah pada orang disekitarnya termasuk pada orang yang telah meninggal tersebut dan rasa marah ini biasanya ditunjukkan kedalam sikap mereka yang menjadi kasar, rusuh, ribut, atau membuat gaduh, memiliki relasi yang buruk dengan orang disekitarnya termasuk bermasalah dalam akademik. Mereka juga menjadi susah tidur, mengalami mimpi buruk, tidak mau bicara, mudah tersinggung, termasuk menunjukkan rasa marah terhadap anggota keluarga lain yang masih hidup atau orang-orang disekitarnya.
Terkhusus pada anak-anak yang mengalami duka akibat kehilangan orang tuanya, sebagian besar anak menunjukkan kemunduran perilaku ke tahap usia jauh dibawahnya. Anak menunjukkan perilaku seperti bayi atau anak yang membutuhkan perhatian, ingin selalu dipeluk, meminta disuap setiap kali makan, berbicara dengan orang lain seperti bayi kecil, mulai mengompol saat tidur di malam hari, marah atau menangis seperti anak kecil. Anak-anak bahkan mempercayai bahwa merekalah yang menyebabkan kepergian orang tuanya karena tidak menuruti perintah dan pernah berharap orangtuanya menghilang atau tidak ada lagi. Dan saat orangtuanya meninggal, harapan yang pernah terpikirkan atau diinginkan tersebut terjadi, membuat anak menyalahkan dirinya sendiri dan semakin bersedih yang akhirnya mempengaruhi sikap mereka dalam keseharian.
Pada anak-anak yang lebih besar, mereka sudah dapat menerima dan memahami akan konsep kematian. Biasanya mereka masih akan menunjukkan rasa duka tersebut dengan perasaan sedih yang hilang timbul. Umumnya perasaan sedih atau duka tersebut muncul pada waktu-waktu yang bermakna khusus seperti hari ulang tahun, liburan, atau momen tidak terduga lainnya.
Tidak ada batasan waktu ketika seseorang menghadapi yang namanya rasa berduka, tidak peduli usia yang masih sangat muda maupun sudah lanjut usia. Dengan mengenali rasa duka yang dialami anak-anak, orang tua ataupun orang dewasa disekitar anak dapat mendampingi mereka menghadapi dan melewati dukacitanya.
Referensi:
Alison S. (2015). Grief And Trauma In Children. New York: Routledge
Ferow, A. (2019). Childhood Grief and Loss. European Journal of Educational Sciences, Special Edition. United states: Liberty University. Retrieved from: https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ1236723.pdf
Sanghvi, P. (2020). Grief in children and adolescents: a review. Indian Journal of Mental Health. Retrieved from: https://indianmentalhealth.com/pdf/2020/vol7-issue1/6-Review-Article_Gri...
Credit picture : Cameron County, Rising Above Grief and Loss Death Child, loss, love, leaf png. Retrieved from: https://www.pngegg.com/en/png-ekqqx