HAMBATAN PADA AWAL TRANSISI PENERAPAN POLA PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH (PPK-BLUD)

Konsep    BLU    sebenarnya    muncul    dari reformasi  sektor  publik  di  Inggris  pada  tahun 1980-an  semasa  Perdana  Menteri  Margareth Thatcher.  Institusi  publik  dikelola secara  lebih otonom   dengan   tata   kelola   seperti   swasta (private-like manner).   Institusi   publik   yang semi otonom dan dikelola dengan mekanisme layaknya entitas bisnis itu disebut dengan “ the  next  step  agencies”. Negara-negara  lain juga    melakukan    hal    yang    sama    termasuk Indonesia. (2)

Beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia menyebut dan/atau mengatur secara lebih jelas substansi Badan Layanan Umum antara lain pada :

1. Amandemen UUD tahun 1945 paragraf 4 : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,……….”

2. UU No : 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara :

- pasal 1 angka 23 : Badan Layanan Umum adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas;

- pasal 2 huruf K : pengelolaan Badan Layanan Umum

- Bab XII pasal 68 – 69

3. Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum juncto Peraturan Pemerintah No 74 tahun 2012 tentang perubahan PP no 23 tahun 2005.

Setelah itu penerapan peraturan diatas terhadap Badan Layanan Umum terbagi atas 2 bentuk :

a. Badan Layanan Umum /BLU untuk Satuan Kerja Pemerintah Pusat (diatur secara khusus oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Teknis)

b. Badan Layanan Umum Daerah/BLUD untuk Satuan Kerja Perangkat Daerah /SKPD (diatur secara khusus oleh Kementerian Dalam Negeri)

Pengusulan suatu Satuan Kerja atau SKPD agar layak mengelola keuangan  dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLU/D) harus memenuhi 3 persyaratan :

1. Persyaratan Substantif

Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:

a. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;

b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau

c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.

2. Persyaratan Teknis

Persyaratan teknis terpenuhi apabila :

a. kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD scsuai dengan kewenangannya; dan

b. kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.

3. Persyaratan Administratif

Persyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut:

a. pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;

 b. pola tata kelola;

c. rencana strategis bisnis;

d. laporan keuangan pokok;

e. standar pelayanan minimum; dan

f. laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.

Apabila layak ditetapkan menjadi BLU atau BLUD maka SKPD atau Satker diberikan keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.

Namun terkadang Satker atau SKPD yang telah ditetapkan menjadi BLU atau BLUD-pun tetap akan menemui kesulitan dan hambatan saat awal penerapan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum. Hambatan tersebut bisa berasal dari dalam organisasi (internal barrier) atau dari luar organisasi (external barrier) :

A. Hambatan dari dalam organisasi

1. Kerangka pikir (mindset) Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sulit ber(di)ubah

Perubahan pola administrasi keuangan BLU/D terkadang tidak selalu diikuti oleh perubahan pola pikir SDM yang ada di dalam organisasi karena adanya resistensi terhadap perubahan sekecil apapun yang “mengganggu rutinitas” mereka atau terhadap ASN yang apatis karena mereka beranggapan perubahan dalam bentuk apapun tidak akan mengubah kesejahteraan mereka.

2. Berlarut-larutnya penyusunan formatur Pengelola BLU/D

Suatu Satker atau SKPD yang telah ditetapkan menjadi BLU/D sesegera mungkin menyusun formatur Pengelola BLU/D. Sebagaimana disebutkan dalam PP No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pasal 32 disebutkan bahwa Pejabat Pengelola BLU terdiri atas :

a. Pemimpin

b. Pejabat Keuangan, dan

c. Pejabat Teknis

Karena sesuatu hal maka pengusulan formatur tersebut terlambat atau bahkan terhambat yang diakibatkan persoalan seperti ketidaktegasan dan ketidakjelasan siapa saja yang akan menduduki jabatan tersebut, tidak adanya kepastian kapan akan dibentuk formatur karena antar unit kerja tidak pernah lagi mengadakan koordinasi pasca ditetapkan menjadi BLU/D atau faktor lainnya.

Perlu untuk diketahui bahwa pembentukan formatur ini mempunyai nilai yang sangat strategis karena merekalah yang akan menentukan berhasil atau tidaknya kinerja operasional dalam penerapan pengelolaan keuangan ala BLU/D.

3. Terbatasnya tenaga profesional pengelola keuangan/penganggaran.

Tenaga profesional disini bisa disebut antara lain tenaga akunting, manajemen bisnis, manajemen keuangan, perencana anggaran/keuangan,forecaster,statistik ekonomi dan sebagainya. Karena kesulitan dalam mencari tenaga profesional pengelola keuangan/penganggaran, maka akhirnya BLU/D diisi oleh tenaga yang tidak sesuai dengan keahlian atau kompetensinya. Hal ini akan sangat mempengaruhi kinerja lini keuangan BLU/D karena penyusunan laporan berbasis SAP(Standar Akuntansi Pemerintah) dan/ atau SAK (Standar Akuntansi Keuangan) merupakan salah satu indikator keberhasilan pelaporan kinerja BLU/D.

Hal yang tak kalah pentingnya adalah penyusunan RSB (Rencana Strategis Bisnis) dan RBA (Rencana Bisnis Anggaran) yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU; karena apabila penyusunan dokumen-dokumen tersebut hanya ala kadarnya sekedar menggugurkan kewajiban agar BLU/D bisa menggunakan secara langsung uang yang berasal dari jasa pendapatan maka hal tersebut justru akan menjadi kontra produktif dengan tujuan awal dibentuknya BLU/D.

Karena BLU/BLUD tetap menjadi instansi pemerintah yang tidak dipisahkan sesuai perundang-undangan maka seluruh pendapatan yang diperolehnya dari non APBN/APBD dilaporkan dan dikonsolidasikan dalam pertanggungjawaban APBN/APBD. Tidak mudah untuk menyusun konsolidasi antara Rencana Kerja Anggaran SKPD atau Rancangan APBD dengan Rencana Bisnis anggaran (RBA) serta konsolidasi laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran/laporan operasional, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan, disertai laporan mengenai kinerja setiap unit usaha.

4. Terbatasnya tenaga profesional pengelola barang/aset

Tenaga profesional pengelola barang/aset disini antara lain tenaga ahli manajemen aset, tenaga ahli pengadaan barang/jasa, konsultan ahli penilai aset dan sebagainya. Fleksibilitas di dalam bidang pengadaan barang/jasa justru akan menjadi kontra produktif dan bahkan bisa membahayakan organisasi karena justru akan terjadi in-efisiensi dan in-efektivitas dalam belanja operasional BLU/D apabila diisi oleh tenaga yang in-kompetensi. Kerugian Negara/daerah bisa saja terjadi setiap saat dan ini akan berakibat permasalahan hukum di kemudian hari, baik hukum administrasi,bisnis, perdata atau bahkan pidana.

5. SPM (Standar Pelayanan Minimal) yang terlalu minimal

Suatu organisasi yang telah ditetapkan menjadi BLU/D seharusnya tetap melakukan reviu secara berkala Standar Pelayanan Minimal yang mereka punyai. SPM sebenarnya merupakan spesifikasi teknis tentang tolok ukur layanan minimum yarg diberikan oleh BLU kepada masyarakat.

Dalam perjalanan awal organisasi BLU/D sering melupakan dengan apa yang disebut dengan monoring dan evaluasi Standar Pelayanan Minimal. Kalaupun dilakukan itu sekedar hanya untuk menunaikan kewajiban suatu kegiatan sehingga tidak pernah disosialisasikan apalagi ditindaklanjuti poin mana saja yang perlu dibenahi. Jadi SPM hanya menjadi suatu dokumen yang minimal informasi, minimal sosialisasi dan bahkan minimal inovasi.

6. Satuan Pengawas Internal (SPI) yang terlalu “internal”

Pada awal pembentukan BLU/D maka ada suatu pihak yang sebenarnya diharapkan menjadi pengawas operasional organisasi (selain Dewan Pengawas) sebagaimana disebutkan didalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis PPK-BLUD BAB XIV pasal 122-126. Namun pada kenyataannya SPI kurang atau bahkan tidak diberikan ruang untuk melakukan pekerjaannya sehingga setelah dibentuk SPI ternyata hanya dijadikan “pelengkap” dalam struktur organisasi dan berkesan menjadi terlalu “internal” bahkan cenderung menjadi “marginal”.

7. Ribut Masalah Remunerasi

Pada PP No 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pasal 35 disebutkan bahwa Pejabat pengelola, dewan pengawas, dan pegawai BLU dapat diberikan remunerasi berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.

Pada Permendagri No 61/2007 pasal 51 remunerasi dapat diberikan dengan mempertimbangkan :

a. ukuran (size) dan jumlah aset yang dikelola BLUD, tingkat pelayanan serta produktivitas;

b. pertimbangan persamaannya dengan industri pelayanan sejenis;

c. kemampuan pendapatan BLUD bersangkutan; dan

d. kinerja operasional BLUD yang ditetapkan oleh kepala daerah dengan mempertimbangkan antara lain indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat bagi masyarakat.

Jelas bahwa berdasarkan aturan diatas pemberian remunerasi perlu pertimbangan yang matang antara lain berdasar kemampuan pendapatan serta tingkat produktifitas.

Pada awal pembentukan BLU/D sering terjadi kegaduhan organisasi akibat pola pemberian remunerasi yang tidak jelas, tranparan dan akuntabel sehingga menjurus kepada ketidakadilan dalam pembagian pendapatan. Hal ini bagi masyarakat pengguna jasa dan pemerintah/pemerintah daerah dirasakan akan mencederai moril mereka karena alih-alih memikirkan peningkatan mutu pelayanan dan produktifitas, justru organisasi terus-menerus gaduh akibat remunerasi. Apabila tidak dikelola dengan baik maka justru kebijakan remunerasi akan berakibat habisnya pendapatan operasional menjadi belanja pegawai seperti gaji, tunjangan tetap, honorarium, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, dan/atau pensiun.

8. In-efisiensi dan In-efektivitas

Organisasi yang baru saja ditetapkan menjadi BLU/D bisa saja menjadi euphoria karena merasa mendapatkan “durian runtuh”. Pendapatan operasional yang semula disetor semua ke pemerintah dan pemerintah daerah setelah ditetapkan menjadi BLUD menurut Permendagri No 61/2007 pasal 62 ayat 1 disebutkan : “Seluruh pendapatan BLUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 kecuali yang berasal dari hibah terikat, dapat dikelola langsung untuk membiayai pengeluaran BLUD sesuai RBA.”

Walaupun didalam peraturan perundang-undangan jelas bahwa BLU dikendalikan secara ketat dalam perencanaan, penganggaran serta dalam pertanggungjawabannya namun terkadang hal itu tidak mudah di dalam pelaksanaannya. Pendapatan fungsional justru tidak dipergunakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik namun justru dipakai untuk hal-hal yang kurang urgen seperti biaya perjalanan dinas, honorarium, sosialisasi dan sebagainya.

9. Pola Tata Kelola (Corporate Governance) yang (In)dependensi

Pola Tata Kelola adalah peraturan internal yang antara lain menetapkan organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan tranparansi.

Pada prakteknya organisasi yang baru menerapkan PPK-BLU/D sering melupakan evaluasi secara berkala Pola Tata Kelola organisasi mereka. Prinsip tata kelola seperti transparansi, akuntabilitas, responsibilitas dan independensi ternyata tidak mudah dan murah dalam kenyataannya. Untuk bisa mewujudkan ke-4 prinsip dibutuhkan kesungguhan dan kejujuran dari semua pihak pengelola dan pegawai BLU/D karena tanpa komitmen dan integritas dari mereka mustahil Pola Tata Kelola yang mengacu pada ke-4 prinsip tersebut akan tercapai.

Contoh pola Tata Kelola adalah tata kelola pegawai BLU/D tentang bagaimana penerimaan tenaga profesional non PNS pada BLU/D. Seharusnya menurut peraturan perundangan pengangkatan dan pemberhentian pegawai BLUD yang berasal dari non PNS dilakukan berdasarkan pada prinsip efisiensi, ekonomis dan produktifitas dalam meningkatkan pelayanan.

Mari kita kaji secara dangkal apa itu tenaga profesional. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) tenaga profesional adalah orang yg ahli menjalankan tugasnya di suatu profesi tertentu.

PROFESIONAL, menunjukan pada dua hal. Pertama, orang yang menyandang suatu profesi; misalnya, “dia seorang profesional”. Kedua, penampilan seseorang dalam melakukan pekerjaannya yang sesuai dengan profesinya. Dalam pengertian kedua ini, istilah profesional dikontraskan dengan “nonprofesional atau amatiran.(5)

Websters New World Dictionary dalam Oteng Sutisna (1993 : 357) menjelaskan bahwa “profesi sebagai suatu pekerjaan yang meminta pendidikan tinggi dalam liberal arts atau science dan biasanya meliputi pekerjaan manual, seperti mengajar, keinsinyuran, mengarang dan seterusnya; terutama kedokteran, hukum atau teologi (dulu disebut profesi-profesi berilmu)”. Lebih lanjut Oteng Sutisna (1993 : 357) yang dikutip dari Good s of Dictionary of Education menjelaskan bahwa “profesi sebagai suatu pekerjaan yang meminta persiapan spesialisasi yang relatif lama di perguruan tinggi dan dikuasai oleh kode etik yang khusus”.

Pada kenyataannya organisasi yang baru saja ditetapkan sebagai BLU/D dalam melakukan penerimaan tenaga non PNS justru tidak profesional, tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan penuh dengan kolusi dan nepotisme. Tenaga non PNS yang seharusnya seperti diamanahkan oleh Permendagri No 61/2007 pasal 40 bahwa tenaga non PNS adalah tenaga yang profesional sesuai kebutuhan organisasi (bukan sesuai kebutuhan individual) bak pepatah “jauh panggang dari api” alias tidak bakal matang. Tenaga yang diangkat sebagai tenaga tidak tetap BLU/D non PNS mungkin saja adalah tenaga yang melamar kesana kemari tidak diterima dan jauh dari apa yang disebut dengan kompetensi namun karena kedekatan dengan pejabat pengelola BLU/D maka dia diterima bekerja.

Kesulitan lain adalah tidak semua tenaga profesional mau bekerja di organisasi BLU/D karena beberapa faktor seperti :

a. Tenaga profesional mempunyai anggapan rugi bekerja di pemerintahan karena gaji yang lebih kecil daripada swasta/asing;

b. Anggapan bahwa tidak mungkin bisa organisasi pemerintah mempunyai kinerja seperti kinerja organisasi bisnis; yang ada adalah organisasi yang lamban dan tidak produktif sehingga mereka sulit untuk mengembangkan diri

c. Tenaga profesional apabila mau bekerja sama dengan BLU/D adalah kerja sama yang sifatnya singkat,kontraktual dan simple seperti konsultan asistensi/pendampingan, konsultan aset dan sebagainya karena dari segi salary dan waktu mereka mempunyai posisi tawar yang lebih baik daripada mereka bekerja sebagai tenaga tetap BLU/D yang terikat dengan waktu dan gaji tertentu.

B. Hambatan dari luar organisasi

1. Hambatan dari stake holders

Stake holders organisasi BLU/D antara lain adalah dari pihak eksekutif (Kementerian Keuangan, Kementerian Teknis, Pemerintah Daerah) dan pihak legislatif (DPR/DPRD).

Pihak organisasi BLU/D yang “malas” berkomunikasi dengan ke dua pihak diatas akan kesulitan untuk melangkah mengembangkan organisasinya karena tidak bisa meyakinkan pihak eksekutif dan legislatif dalam menjalankan roda operasional BLU/D yang (katanya) produktif, efektif dan efisien. Tanpa dukungan stake holders diatas mustahil program BLU/D akan berjalan sebagaimana yang dicita-citakan dalam Rencana Strategis Bisnis dan Rencana Bisnis Anggaran.

Hambatan lain adalah apabila pihak stake holders tidak begitu mengerti akan esensi dan substansi dari Pola Pengelolaan Keuangan BLU/D itu sendiri sementara pihak organisasi BLU/D kurang pro aktif memberi pengertian dan itu akan menghambat saat belum ada peraturan yang jelas yang menyatakan bagaimana cara pengambilan kembali pendapatan yang semula disetor ke kas Negara menjadi dikelola langsung oleh BLU/D; penetapan pola tarif yang semula dalam bentuk Peraturan Daerah dan harus masuk terlebih dahulu dalam Prolegda (Program Legislatif Daerah) berubah menjadi hanya cukup ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Daerah dan sebagainya.

2. Hambatan dari konsumen/pengguna jasa BLU/D

Masyarakat sebagai konsumen/pengguna jasa tidak terlalu mau tahu dan tidak mau pusing dengan berbagai konsep pengelolaan BLU/D, namun mereka menjadi mau tahu dan mau pusing saat mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas rendah. Sudah selayaknya pihak BLU/D memberikan informasi yang dikemas sedemikian rupa tentang Pola Pengelolaan Keuangan BLU/D tanpa harus dibebani dengan informasi yang terlalu berat mengenai pasal-pasal aturan namun langsung mengenai informasi yang berkaitan dengan manfaat perubahan manajemen pengelolaan.

Masyarakat akan tahu setelah beberapa waktu apakah ada manfaat atau tidak “perubahan” tersebut bagi mereka seperti pelayanan yang lebih cepat dengan kualitas yang lebih baik, organisasi BLU/D menerima pasien tidak mampu yang membawa kartu JKN/BPJS Kesehatan, akses pendidikan lebih mudah dan murah,dan sebagainya. Apabila perubahan tersebut tidak dirasakan secara langsung manfaatnya oleh masyarakat maka hilanglah kepercayaan mereka kepada organisasi BLU/D dan mereka malas untuk memanfaatkan fasilitas dan layanan darinya. Kepercayaan atau trust dari pihak konsumen merupakan hal yang sangat penting, untuk bisa merubah mindset masyarakat sama sulitnya merubah mindset ASN (Aparatur Sipil Negara) organisasi BLU/D, dibutuhkan waktu dan kemauan dari semua pihak.

C. SIMPULAN DAN SARAN

Ada beberapa hambatan pada awal transisi pada organisasi yang baru ditetapkan sebagai BLU/D yang harus sesegera mungkin dikelola dengan baik dan dilalui dengan cepat sehingga organisasi tidak berlarut-larut terjebak dalam situasi transisi yang mengganggu tujuan awal dibentuknya BLU/D.

Dibutuhkan Pengelola BLU/D yang tidak cukup hanya pintar menghapal pasal-pasal aturan pengelolaan BLU/D namun mereka harus mampu menjadi “pengikat” visi,misi dan energi serta potensi dan merangkul “hati” semua pegawai BLU/D sehingga mau diajak bekerja keras membangun BLU/D. Tidak mudah mendapatkan kepercayaan baik dari pihak pegawai BLU/D maupun dari masyarakat dan itu bisa dimulai dengan usaha Pengelola BLU/D menjadi panutan agar lebih efisien,produktif dan jujur dalam mengelola BLUD, tidak terlalu sering meninggalkan organisasi BLU/D dengan alasan sering keluar perjalanan dinas atau alasan lain yang tidak berhubungan langsung dengan peningkatan kinerja BLU/D tapi harus banyak melakukan koordinasi dan komunikasi yang lebih baik dengan pegawai BLU/D karena sekali lagi tanpa didukung oleh seluruh jajaran pegawai BLU/D perjalanan pengelolaan BLU/D akan terseok-seok dan tertatih-tatih. Mereka merasa akan tercederai saat melihat “panutan” mereka lebih sering meninggalkan mereka sementara mereka dibiarkan berjuang sendiri mengatasi masalah pengelolaan organisasi dengan dibebani target pendapatan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS : An-Nisaa’ : 58)

Insya Allah ………………….

RUJUKAN :

  • UUD 1945 dan Amandemennya
  • UU No 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
  • Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2005 dan perubahannya tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri No 61 tahun 2007 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah
Penulis: 
Tri Putranto Vindi Kusuma,SKM
Sumber: 
Humas Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Kep. BABEL

Artikel

18/11/2025 | Sulaini, S.Kep.,Ns
17/11/2025 | Sieftia Lianty, S.Kep, Ners
07/11/2025 | Mewa Susnita, S.Kep, Ners
07/11/2025 | Mardiah S.Kep
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt
30/06/2016 | Wieke Erina Ariestya, S.Kep.Ners
30/11/2022 | Zurniaty, S. Farm., Apt
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt

ArtikelPer Kategori