GERD adalah gangguan pada perut, seperti bersendawa berulang yang menyebabkan heartburn atau nyeri pada dada dan gejala lainnya. Secara signifikan, GERD berhubungan erat dengan stress. Di Indonesia prevalensi GERD sudah mencapai 27,4%. Bahaya GERD adalah jika tidak ditangani akan mengganggu sistem kerja pencernaan dan meningkatkan resiko kanker pada esofagus. Penyakit GERD dapat terjadi dikarenakan gaya hidup yang tidak sehat dan faktor resiko seperti penggunaan obat-obatan seperti antikolinergik, teofilin, beta adrenergik, calcium-channel blocker dan nitrat.
Asam lambung adalah salah satu faktor utama penyebab penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, kematian jaringan, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
beberapa faktor yang menyebabkan munculnya GERD antara lain :
1) Usia.
2) IMT yang berlebih (Overweight dan Obesitas).
3) Merokok.
4) Stress.
5) Aktivitas fisik yang kurang.
Manifestasi klinis yang sering timbul yaitu dada terasa terbakar (heartburn) serta sering diasosiasikan dengan rasa asam di bagian belakang mulut dengan atau tanpa regurgitasi dari refluks, nyeri di ulu hati, masalah pernapasan misalnya batuk dan asma, dan juga suara serak serta adanya nyeri pada tenggorokan.
Berdasarkan studi di tahun 2018 pada Medical News Today, dengan mengikutsertakan sekitar 19.000 orang dan didapatkankan bahwa yang mengalami kecemasan lebih mungkin mengalami gejala GERD. Penelitian lain ditemukan bahwa dampak negatif GERD bisa meningkatkan kecemasan dan depresi. Penelitian lainnya juga menemukan bahwa ansietas dapat berkaitan dengan gejala GERD seperti rasa terbakar pada dada dan nyeri perut bagian atas. Penelitian juga menunjukkan memang ada hubungan antara Kesehatan Jiwa dan Kesehatan Pencernaan yang disebut sebagai GUT BRAIN AXIS (GBA). Di saluran pencernaan terdapat mikrobiota yang berperan bagi otak karena berguna untuk memproduksi dan ekspresi serotonin yang adalah neurotransmitter otak untuk kondisi perasaan/mood, mikrobiota tersebut juga berperan dalam membentuk BDNF yang mana adalah zat yang berfungsi sebagai pelindung saraf otak. Gangguan dalam pencernaan yg disebabkan oleh asupan makanan yang tidak sehat bisa mengganggu kestabilan mikrobiota sehingga secara langsung juga mengganggu kesehatan jiwa yaitu gangguan kecemasan.
Gangguan Kecemasan dapat mempengaruhi kesehatan pencernaan dikarenakan ketika merasa cemas maka otak melalui HPA axis akan membuat tubuh mengeluarkan hormon Kortisol, yaitu hormon stres yang dapat menyebabkan terganggunya gerakan dan regulasi pencernaan sehingga muncul keluhan pencernaan seperti, mual, kembung, sakit perut, diare, dan lainnya.
Oleh karena gerd dapat menimbulkan kecemesan pada seseorang begitupun sebaliknya cemas dapat menyebabkan terjadinya gerd, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang tepat untuk keduanya, yaitu :
Untuk gerd dapat mengkonsumsi antasida, obat-obatan yang menghambat produksi asam lambung, perubahan gaya hidup dengan cara memperbanyak konsumsi sayur dan buah-buahan, menghindari makanan berlemak, gorengan dan makanan pedas,istirahat yang cukup,menghindari minuman alkohol, teh dan kopi, menghindari merokok, tidak langsung tidur sehabis makan serta mengelola stres dan cemas.
Sedangkan untuk mengatasi gangguan kecemasan adalah dengan Validasi (mengakui, validasi dan mengijinkan ketika perasaan tidak nyaman tersebut datang), Ventilasi (bercerita kepada seseorang yang dipercaya akan hal yang dirasakan, atau dengan menulis di jurnal pribadi), Regulasi (kontrol dan mengendalikan perasaan tidak nyaman tersebut dengan aktivitas yang menyenangkan atau bisa juga dengan relaksasi otot progresif), serta Konsultasi (Jangan ragu untuk berkonsultasi kepada psikolog, psikiater, perawat jiwa, konselor yang dapat membantu dalam mengatasi kecemasan.
Dengan mampu mengelola stres, mengatasi kecemasan dengan hal yang menyenangkan, mengatur pola hidup sehat, mengontrol makanan yang masuk ke dalam tubuh dan melakukan aktivitas fisik yang rutin diharapkan Gerd dan Cemas berkurang atau tidak berulang.
DAFTAR PUSTAKA
Canon, C. L., Morgan, D., Einstein, D., Herts, B., Hawn, M., & Johnson, L. (2015). Surgical Approach to Gastroesophageal Reflux Disease: What the Radiologist Needs to Know. RadioGraphics, 1485-1499
Dhelva I. W., Ratna. (2021). Bagaimana Gerd Bisa Menyebabkan Kecemasan. Diakses pada tanggal 14 Desember 2023 dari http://ners.unair.ac.id/site/index.php/news-fkp-unair/30-lihat/1922-bagaimana-gerd-bisa-menyebabkan-kecemasan
Jarosz, M., & Taraszewska, A. (2014). Risk factors for gastroesophageal reflux disease: The role of diet. Przeglad Gastroenterologiczny, 9(5), 297–301.
Kembaren, Lahargo. Gerd dan Ganguan Cemas (Hubungan dan Cara Mengatasinya). Diakses pada tanggal 14 Desember 2023 dari https://rsmmbogor.com/apps-rsmm/news-detail.do?id=988
Linda, et al. (2021). Pola Penggunaan Obat Pada Pasien Gatroesophageal Reflux Disease (GERD) di Salah Satu Rumah Sakit di Bandung. Diakses pada tanggal 14 Desember 2023 dari https://www.ejournal.unper.ac.id/index.php/PHARMACOSCRIPT/article/view/713
Surya, H. (2020) ‘Tatalaksana Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dalam Masa Pandemi Covid-19’, Medicinus, 33(3), pp. 74–80.