Orang sehat adalah apabila secara jiwa dan raganya sehat, kesehatan psikis sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Dalam hidup, manusia memiliki masamasa dimana individu merasa tertekan, sedih atau takut, sering kali perasaan itu hilang sejalan dengan selesainya permasalahan yang dihadapi. Namun terkadang perasaan itu berkembang menjadi masalah yang lebih serius. Hal ini bisa terjadi pada salah satu dari individu, setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi setiap masalah yang dihadapinya, ada yang bisa bangkit kembali dari kemunduran, sementara ada orang lain yang mungkin merasa terbebani oleh itu untuk waktu yang lama. Kesehatan mental yang kita miliki tidak selalu sama, dapat berubah karena adanya perubahan lingkungan serta manusia yang terus bergerak melewati tahapan kehidupan yang berbeda. Dengan adanya perubahan tersebut manusia diharapkan mampu untuk tetap menjaga agar memiliki kesehatan mental yang baik.
Seiring dengan dinamika perkembangan kehidupan yang semakin kompleks maka perubahan psikis diri manusia juga mengalami perubahan, utamanya dengan perkembangan mental atau jiwa seseorang yang telah mengalami modernisasi kultur dan gaya hidup. Banyaknya beban pikiran atau persoalan hidup yang mendesak dapat menjadikan seseorang kehilangan kendali pada kejiwaannya sendiri, puncaknya ketika kontrol diri tidak lagi bisa dipertahankan maka otak tidak mampu berkerja dengan baik, sehingga mengakibatkan munculnya gangguan jiwa. Gangguan jiwa pada seseorang salah satunya bisa disebabkan oleh depresi yang berkepanjangan. Saat ini, pengobatan penyakit jiwa juga dilakukan dengan berbagai cara. Gangguan jiwa dan penanganannya telah ada sejak zaman dulu, pengobatan/terapi untuk menyembuhkan gangguan jiwa pun terus berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal adalah shock therapy/terapi kejang listrik atau yang lebih dikenal dengan electro convulsive therapy (ECT), terapi yang lebih awal daripada psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh masyarakat, dipasung, dirantai diceburkan ke dalam kolam. Di era modern pengobatan gangguan jiwa dilakukan dengan teknik shock therapy/electroconvulsive therapy (terapi kejutan listrik). Pasien diharuskan menjalani penyetruman otak untuk mengatasi skizofrenia yang dialaminya. Pengamanan sebelum dilakukan teknik ini cukup berlapis, pasien harus diikat erat-erat pada tempat tidurnya, untuk menghindari fraktur tulang akibat dia mengejang waktu diberi kejutan listrik itu. Di dalam mulutnya juga diberi karet pelindung untuk mencegah lidahnya tergigit dan gigi-geliginya patah waktu terjadi kekejangan, dan pada saat otaknya dialiri listrik, pasien ini mengalami kondisi seperti penderita epilepsi yang mendapat serangan grand mal seizure, setelah menjalani beberapa kali sesi shock therapy ini, pasien biasanya akan kehilangan sebagian daya ingatnya (memorinya) dan hasil pengobatannya tidaklah bersifat permanen dan ada kemungkinan kelainan jiwa ini kambuh kembali.
Namun sejarah kembali berulang dunia medis kembali digembargemborkan dengan teknik shock therapy dengan alasan bahwa pemberian obatobatan anti depresan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sehingga dewasa ini teknik shock therapy digunakan kembali untuk menangani pasien skizofrenia. Shock therapy adalah pengobatan yang paling kontroversial dalam psikiatri modern. Berkaitan dengan resiko, beberapa orang mengkritik shock therapy sebagai alat yang kejam dan pemaksaan dalam terapi gangguan jiwa. Pengobatan pasien dengan shock therapy sangat kompleks. shock therapy juga menimbulkan serangkaian masalah yang bersifat etis-moral jika dilakukan tanpa prosedur yang sesuai dengan standar parameter praktik, namun prosedur yang sesuai dengan standar parameter praktik masih perlu digali lebih dalam. Prosedur shock therapy atau ECT telah membantu mereka yang memiliki kecendrungan melakukan usaha bunuh diri ,dan mereka yang tidak merespon terhadap jenis pengobatan atau jenis perawatan lainnya.
Electro Convulsive Therapy (ECT) merupakan suatu bentuk terapi fisik dengan menggunakan aliran listrik melalui otak, untuk menginduksi kejang menyeluruh di susunan syaraf pusat. Di Amerika Serikat, Electro Convulsive Therapy telah digunakan 70% pada pasien gangguan Bipolar dan 17 % pada pasien Skizofrenia resisten terhadap psikofarmaka. Sedangkan di Indonesia masih belum terdapat data yang valid mengenai penggunaan Electro Convulsive Therapy. Meskipun penggunaannya dinyatakan bermanfaat, namun Electro Convulsive Therapy yang dilakukan secara konvensional maupun dengan anestesi yang disebut MECTA (Monitored Electro Convulsive Therapy with Anesthesia) dapat menimbulkan komplikasi pada subjek. Komplikasi yang mungkin timbul dari tindakan Electro Convulsive Therapy secara konvensional adalah luksasio mandibula, fraktur dan kompresi pada vertebra, sedangkan komplikasi yang mungkin timbul baik dari Electro Convulsive Therapy secara konvensional, maupun MECTA (Monitored Electro Convulsive Therapy with Anesthesia) dapat menimbulakan terjadinya perubahan tekanan darah, komplikasi kardiovaskuler, kematian akibat apnue, komplikasi sistem pernapasan, trauma mulut dan gigi, nyeri otot, sakit kepala, kulit terbakar, kejang yang berkepanjangan, stroke, disfungsi kognitif dan memori. MECTA (Monitored Electro Convulsive Therapy with Anesthesia) masih lebih aman dibandingkan Electro Convulsive Therapy konvensional .
A. Prosedur Pemasangan
ECT dilakukan dengan mengirimkan sinyal listrik ke otak yang menyebabkan kejang sementara. Mesti terlihat menakutkan, tak perlu khawatir karena sebelum menjalaninya pasien terlebih dahulu diberikan anestesi umum untuk menghilangkan rasa sakit pada tubuh. Rangkaian terapi ECT biasanya dilakukan 6-12 kali selama beberapa minggu.
ECT dilakukan dengan mengalirkan listrik melalui dua elektroda yang dilekatkan pada daerah temporal kepala. Sebelum menjalani pengobatan, pasien diberikan anestesi umum dan menerima relaksasi otot guna mencegah cedera.
Persiapan sebelum dilakukan tindakan ECT :
- Inform consent
- Puasa 6 jam
- Stop obat psikiatri oral
- Premedikasi sedatif tidak direkomendasikan karena dapat memperpanjang masa pulih.
- Pilihan obat anestesi short acting (propofol atau thiopental) + muscle relaxant (succinylcholine)
- Untuk mencegah efek parasimpatik dapat diberikan atropine.
- Untuk mencegah efek simpatis pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler dapat diberikan atenolol 50 mg pada saat preoperative
- Elektrode dapat diletakkan di sisi yang sama pada kepala (unilateral) untuk mengurangi efek samping memory loss dan meminimalisir efek kognitif ataupun diletakkan pada kedua sisi dari kepala (bilateral). Namun metode bilateral biasanya lebih efektif dan lebih direkomendasikan dibandingkan unilateral.
- Level stimulus untuk bilateral ECT adalah ½ kali ambang kejang, sedangkan untuk unilateral bisa melebihi12 kali ambang kejang. Ambang kejang dapat ditentukan dengan sistem trial and error ataupun menggunakan standar yang sudah ada.
B. Prosedur tindakan ECT :
- Periksa badan pasien
- Sebelum dilakukan tindakan ECT pasien telah dipuasakan
- Kosongkan kandung seni dan rectum
- Jika pasien menggunakan gigi palsu sebaiknya dilepas
- Pasien dibaringkan terlentang
- Bersihkan bagian temporal yang akan ditempel elektroda
- Beri bahan yang lunak pada rahang atas dan bawah untuk menghindari gigitan yang keras
- Dagu pasien ditahan
- Tahan sedikit badan pasien agar pasien tidak jatuh saat dilakukan tindakan
- Elektroda ditekan pada temporal dengan kekuatan sedang
C. Mekanisme Kerja
Didalam buku psikiatri dijelaskan bahwa terapi elektrokonvulsi dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ketubuh sehingga penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus. Alat yang digunakan dalam terapi ini dinamakan konvulsator didalamnya terdapat pengatur waktu voltase yang merupakan pengatur waktu otomatis memutuskan aliran listrik yang keluar sesudah waktu yang ditetapkan. Prinsip kerja dari terapi elektrokonvulsi ialah aliran listrik dimasukkan kedalam kepala orang yang mengalami gangguan jiwa, setalah itu orang yang menjalaninya menjadi tidak sadar seketika dan konvulsi yang terjadi mirip epilepsy, diikuti fase klonik, kemudian rasa relaksasi otot dengan pernapasan dalam dan keras. Orang menjadi tidak sadar kurang lebih 5 menit dan biasanya setelah bangun dan sadar,kemudian timbul rasa kantuk,kemudian orang tersebut tertidur.
D. Keuntungan dan Kerugian ECT
- Keuntungan
Efektifitas ECT dalam mengobati pasien dengan gangguan jiwa karena adanya peningkatan sensitivitas reseptor terhadap neurotransmitter. ECT meningkatkan pergantian dopamin, serotonin dan meningkatkan pelepasan norepineprin dari neuron-neuron ke reseptor. ECT juga akan menstimulasi pelepasan serotonin. Pada depresi terjadi gangguan neurotrasmitter otak yaitu penurunan dopamin, serotonin dan norepineprin. Dengan ECT penurunan tersebut dapat ditingkatkan, sehingga pasien depresi dapat disembuhkan dengan pemberian ECT. Pada penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah sakit menjadi lebih pendek - Kerugian
Tidak ada kejelasan mengapa ECT bisa menghasilkan sikap yang negative, salah satu faktor mungkin karena sikap fanatik kita, yaitu sikap jijik untuk melakukan tindakan biologis tertentu. Kejang –kejang, seperti muntah adalah bukan sesuatu suka kita tonton. Mungkin ada faktor evaluasi. Kejang-kejang dan muntah, dapat mengindikasikan sebagai penyakit yang mungkin dapat menular. Masyarakat secara genetis diprogramkan untuk takut dan menghindari situasi seperti itu. Kita menghindari berdiskusi topik kejang-kejang karena beberapa orang yang menderita epilepsy kurang setuju dengan terapi ECT. ECT sebagai alat terapi orang yang mengalami gangguan jiwa karena banyak efek samping yang ditimbulkan seperti yang Patah tulang vertebra, Kehilangan memori dan kekacaun mental sememtara, Dislokalisasi sendi rahang, Amnesia, Nyeri kepala, bahkan samapi kematian. Risiko yang ditimbulkan juga cukup berbahaya seperti kerusakan otak, kematian dan kehilangan memori permanen. Dari segi etik juga tidak etis memperlakukan manusia seperti hewan percobaan walaupun dibilang cukup efektif untuk terapi gangguan kejiwaan tapi sangat kurang etis, apalagi untuk budaya kita
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Vandestra, Kesehatan Jiwa dan Mental dalam Islam, Jakarta: Dragon Promedia, 2017.
Gustaaf Kusno, "Artikel Shock Therapy dari Medis Ke Media", https://www.kompasiana.com/gustaafkusno/550ed712a333113c33ba7dd 2/shock-therapy-dari-medis-ke-media, dikutip pada tanggal 12/06/2018.