Setiap individu mempunyai problematika dalam kehidupannya. Masalah yang dihadapi juga beragam seperti masalah karier, ekonomi dan sosial. Sumber masalah juga dapat datang dari diri sendiri ataupun lingkungan. Masalah dapat muncul karena adanya ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, sehingga muncul reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapinnya.
Pada kenyataannya, ada individu yang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri namun ada juga individu yang memerlukan bantuan orang lain. Terlepas dari hal itu, individu yang mampu bertahan dalam menghadapai permasalahan serta dapat melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensinya dinamakan Adversity Quotient.
Menurut Stoltz (2005) bahwa IQ dan EQ saja tidak cukup dalam meramalkan kesuksekan seseorang karena ada faktor motivasi serta dorongan pantang menyerah dari dalam individu yang dinamakan AQ (Adversity Quotient). Adversity Quotient merupakan seberapa jauh kemampuan seseorang bertahan dalam kesulitan dan bagaimana caranya untuk mengatasi masalah tersebut dan memprediksi siapa yang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan serta siapa yang tidak mampu bertahan.
Sejalan dengan pemikiran Stolz, Menurut Parvanthy dan M. Praseeda (2014) bahwa adversity quotient adalah suatu kekuatan untuk menghadapi kesulitan yang dihadapi dalam hidup mereka. Adversity quotient juga mengungkapkan severa mampu seseorang dalam menghadapi kesulitan dalam hidupnya dan seberapa mampu seseorang berhasil dari kesulitan tersebut.
a. Tingkatan Adversity Quotient
Stoltz membagi individu yang sedang menghadapi masalah menjadi 3 tingkatan yang diibaratkan sedang mendaki gunung, yaitu sebagai berikut.
1. Quitters
Quitters yaitu individu yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Seseorang dengan tipe ini lebih memilih untuk berhenti berusaha, mengabaikan serta meninggalkan dorongan untuk terus berusaha.
2. Campers
Campers yaitu individu yang telah berusaha sedikit kemudian merasa putus asa atas apa yang telah dicapainya. Biasanya seseorang dengan tipe ini bosan dalam melakukan pendakian dan menganggap hidupnya telah sukses sehingga tidak perlu lagi melakukan perbaikan dan usaha.
3. Climbers
Climbers yaitu individu yang telah berusaha sepanjang hidupnya tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasip buruk atau baik. Seseorang dengan tipe ini akan terus berusaha.
b. Faktor-Faktor Adversity Quotient
Menurut Stoltz (2005), ada beberapa faktor yang mempengaruhi individu merespon kesulitan yaitu sebagai beikut.
1. Daya saing. Persaiangan sebagaian besar berkaitan dengan harapan, kegesitan dan keuletan yang sangat ditentukan oleh bagaimana cara seseorang dalam menghadapi tantangan dan juga dalam menghadapi kegagalan dalam hidupnya.
2. Produktivitas. Individu-individu yang merespon kesulitan secara destruktif terlihat kurang produktif dibandingkan dengan individu yang tidak destruktif (konstrutif).
3. Kreativitas. Pada dasarnya inovasi adalah tindakan yang berdasarkan pada suatu harapan. Inovasi memerlukan keyakinan bahwa suatu yang sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti.
4. Motivasi. Individu-individu dengan adversity quotient yang tiggi dianggap sebagai orang yang palig memiliki motivasi.
5. Mengambil resiko. Individu-individu yang tidak mampu memegang kendali, tidak ada alasan untuk mengambil resiko. Bahkan, sebenarnya resiko-resiko sebenarnya tidak masuk akal. Yakin bahwa apa yang dikerjakan tidak ada manfaat.
6. Perbaikan. Individu yang berhasil dan mampu dalam melakukan perbaikan dengan adversity quotient yang lebih tinggi menjadi lebih baik, sedangkan individu dengan adversity quotient yang lebih rendah memiliki hal buruk.
7. Ketekunan. Ketekunan merupakan kemampuan untuk terus-menerus berusaha bahwa manakala dihadapkan pada kemunduran-kemunduran atau kegagalan.
8. Belajar. Carol Dweck membuktikan bahwa anak-anak dengan respon-respon yang pesimistik terhadap kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
9. Merangkul perubahan. Untuk bisa sukses, individu harus secara efektif mengatasi dan memeluk perubahan tersebut. Namun apabila perubahan yang dilakukan hanya akan merasa dikalahkan dan dilumpuhkan oleh perubahan. Hal tersebut bahkan bisa membuat individu untuk berhenti.
c. Pengelompokan (Dimensi) Adversity Quotient
Stoltz (2005) menyebutkan ada empat dimensi adversity quotient yaitu
1. Control (Kendali)
Seseorang yang mempunyai kendali didalam dirinya dan paham atas kendali tersebut maka seseorang tersebut paham dan mengetahui apapun yang akan dilakukannya.
2. Origin and Ownership (Asal usul dan pengakuan)
Siapa atau apa yang menjadi asal usul dari munculnya kesulitan dalam hidup seseorang dan sampai sejauh mana seseorang tersebut mengaku dan menerima akibat-akibat dari kesulitan tersebut. Individu dengan adversity quotient yang rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak sepatutnya dari kejadian yang kurang menyenangkan dalam kehidupannya.
3. Reach (Jangkauan)
Sejauh mana kesulitan yang dihadapi dalam diri seseorang tersebut akan merambat pada bagian-bagian lain dalam kehidupannya, respon dengan adversity quotient yang rendah akan membuat kesulitan yang dihadapinnya mempengaruhi ke sisi lain dalam kehidupan seseorang.
4. Endurance (Daya Tahan)
Seberapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan itu akan menetapkan dan berlangsung dalam kehidupan seseorang. Semakin adversity quotient seseorang maka semakin besar kemungkinan seseorang tersebut menganggap kesulitan dan penyebab akan berlangsung lama didalam dirinya.