PROSES TERJADINYA MASALAH PADA PASIEN HALUSINASI

Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah gangguan persepsi yang dapat timbul pada klien skizofrenia, psikosa, pada sindroma otak organik, epilepsi, nerosa histerik, intokasi atropin, atau kecubung dan zat halusinogenik.

Halusinasi adalah persepsi seseorang yang salah terhadap penerapan panca indra dirinya, maupun lingkungan tanpa adanya rangsangan atau stimulus yang nyata sehingga seseorang mempersepsikan dan merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi dan tidak dapat dibuktikan secara nyata kepada orang lain.

Jenis Halusinasi

Jenis - jenis halusinasi sebagai berikut :

  1. Halusinasi pendengaran

            Mendengarkan suara atau kebisingan yang kurang jelas ataupun yang jelas, di mana terkadang suara-suara tersebut seperti mengajak berbicara klien dan kadang memerintah                klien untuk melakukan sesuatu.

       b. Halusinasi penglihatan

           Stimulus visual dalam bentuk kilatan atau cahaya, gambaran atau bayangan yang rumit dan kompleks. Bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan.

       c. Halusinasi penghidu

           Membau bau-bauan tertentu seperti bau darah, urine, feses, parfum, atau bau yang lain. Ini sering terjadi pada seseorang pasca serangan stroke, kejang atau demensia.

       d. Halusinasi pengecapan

           Merasa mengecap rasa seperti darah, urine, feses, atau lainnya.

       e. Halusinasi perabaan

           Merasa mengalami nyeri, rasa tersetrum atau ketidak nyamanan tanpa stimulus yang jelas.

        f. Halusinasi canesthetic

           Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.

        g. Halusinasi kinestetika

            Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

Penyebab Halusinasi

Gangguan persepsi sensori : halusinasi sering disebabkan karena panik, stress berat yang mengancam ego yang lemah, dan isolasi sosial menarik diri. Dua  faktor penyebab yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.

        A. Faktor Predisposisi

             Faktor predisposisi adalah faktor yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres.

             1. Biologi

                  Faktor biologis halusinasi berfokus pada faktor genetika, faktor neuroanatomi dan neurokimia (struktur dan fungsi otak), serta imunovirologi (respon tubuh terhadap suatu                        virus).

              2. Psikologis

                  Intelegensia kemampuan individu dalam menyelesaikan konflik diri dengan menggunakan berbagai upaya koping yang sesuai untuk mengurangi ketegangan menuju                                 keseimbangan kontinum.

               3. Respon fisiologis

                   Stimulasi sistem saraf otonom dan simpatik serta peningkatan aktivitas hormon, tremor, palpitasi, peningkatan motilitas.

               4. Respon perilaku

         Bervariasi tergantung pada tingkat kecemasan, dapat berupa isolasi diri atau agresif.

      B. Faktor Presipitasi

          Faktor presipitasi adalah stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman, atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya.

  1. Biologi

            Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurologis maladaptif meliputi :

  1. Gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik otak yang mengatur proses informasi.
  2. Abnormalitas pada mekanisme koping masuk dalam otak (komunikasi saraf yang melibatkan elektrolit) yang mengakibatkan ketidak mampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus.

         2. Lingkungan

            Ambang toleransi terhadap stress yang ditentukan secara biologis berinteraksi dengan stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

 

  1. Pemicu gejala

Pemicu merupakan prekursor dan stimulus yang sering menimbulkan episode baru suatu penyakit. Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurologis maladaptif yang berhubungan dengan kesehatan, lingkungan, sikap, dan perilaku individu.

  1. Penilaian stressor

Model diatesis stress menjelaskan bahwa gejala halusinasi muncul berdasarkan hubungan antara beratnya stress yang dialami individu dan ambang toleransi terhadap stres internal. Model ini penting karena mengintegrasikan faktor biologis, psikologis, dan sosiobudaya dalam menjelaskan perkembangan halusinasi.

  1. Sumber koping

Sumber koping individu harus dikaji dengan pengaruh gangguan otak pada perilaku. Kekuatan meliputi modal, seperti intelegensi, atau kreativitas yang tinggi.

  1. Mekanisme koping

Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurologis maladaptif meliputi : regresi, proyeksi, dan menarik diri.

Fase – fase Dalam Halusinasi

Halusinasi berkembang melalui 4 fase, yaitu sebagai berikut :

  1. Fase I comforting yaitu fase yang menyenangkan. Pada fase ini masuk dalam golongan non psikotik. Karakteristik : klien mengalami stress, cemas, perasaan perpisahan, rasa bersalah, kesepian yang memuncak, dan tidak dapat diselesaikan. Klien mulai melamun dan memikirkan hal-hal yang menyenangkan, cara ini hanya menolong sementara. Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakan bibir tanpa suara, pergerakan mata cepat, respon verbal yang lambat jika sedang asik dengan halusinasinya, dan suka menyendiri.
  2. Fase II comdemming atau ansietas berat yaitu halusinasi menjadi menjijikan, termasuk dalam psikotik ringan. Karakteristik: pengalaman sensori menjijikan dan menakutkan, kecemasan meningkat, melamun, dan berfikir sendiri jadi dominan. Mulai dirasakan ada bisikan yang tidak jelas. Klien tidak ingin orang lain tahu, dan dia dapat mengontrolnya. Perilaku klien: meningkatkan tanda-tanda sistem syaraf otonom seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan halusinasinya dan tidak dapat membedakan realitas.
  3. Fase III controling atau ansietas berat yaitu pengalaman sensori menjadi berkuasa. Termasuk dalam gangguan psikotik. Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol, menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak berdaya terhadap halusinasinya. Perilaku klien : kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien berkeringat, tremor, dan tidak mampu mematuhi perintah.
  4. Fase IV conquering atau panik yaitu klien lebur dengan halusinasinya. Termasuk dalam psikotik berat. Karakteristik : halusinasinya berubah menjadi mengancam, memerintah, dan memarahi klien. Klien menjadi takut, tidak berdaya, hilang kontrol, dan tidak dapat berhubungan secara nyata dengan orang lain di lingkungan. Perilaku klien : Perilaku terror akibat panik, potensi bunuh diri, perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri dan kakatonik, tidak mampu merespon terhadap perintah kompleks, dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang.

Rentang respon neurobiologist

Respon neuro biologis sepanjang rentang sehat sakit berkisar dari adaptif fikiran logis, persepsi akurat, emosi konsisten, dan perilaku sesuai sampai dengan respon maladaptif meliputi delusi, halusinasi, dan isolasi sosial. Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut :

Rentang respon neurobiologist

Adaptif                                                                                    Mal Adaptif

 

 

 

 

 

 

 

 

  • Pikiran logis
  • Persepsi akurat
  • Emosi konsisten
  • Prilaku sosial
  • Hubungan sosial
  • Kelainan pikiran
  • Halusinasi
  • Ketidakmampuan
  • emosi

 

  • Pikiran kadang menyimpang
  • Reaksi emosional berlebihan
  • Prilaku tidak lazim
  • Menarik diri

 

                                                                          

 

Proses terjadinya Masalah Halusinasi

Proses terjadinya masalah halusinasi dipengaruhi oleh tiga faktor :

  1. Faktor predisposisi
  1. Faktor perkembangan terlambat
  1. Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
  2. Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
  3. Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
  1. Faktor komunikasi dalam keluarga
  1. Komunikasi peran ganda.
  2. Tidak ada komunikasi.
  3. Tidak ada kehangatan.
  4. Komunikasi dengan emosi berlebihan.
  5. Komunikasi tertutup.
  6. Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang  tua.
  1. Faktor sosial budaya

Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.

  1. Faktor psikologis

Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.

  1. Faktor biologis

Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.

  1. Faktor genetik

Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50,00 % jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15,00 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15,00 % mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35,00 %.

  1. Faktor presipitasi

Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:

  1. Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
  2. Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan abnormal).
  3. Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
  1. Faktor Pemicu
  1. Kesehatan : Nutrisi dan tidur kurang, ketidak seimbangan irama sirkardian, kelelahan dan infeksi, obat-obatan system syaraf pusat, kurangnya latihan dan hambatan untuk menjangkau pelayanan kesehatan.
  2. Lingkungan sekitar yang memusuhi, masalah dalam rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup dalam melaksanakan pola aktivitas sehari-hari, sukar dalam berhubungan dengan orang lain, isoalsi social, kurangnya dukungan social, tekanan kerja (kurang terampil dalam bekerja), stigmasasi, kemiskinan, kurangnya alat transportasi dan ketidakmamapuan mendapat pekerjaan.
  3. Sikap : Merasa tidak mampu (harga diri rendah), putus asa (tidak percaya diri), merasa gagal (kehilangan motivasi menggunakan keterampilan diri), kehilangan kendali diri (demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang (tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritual), bertindak tidak seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan dan ketidak adekuatan penanganan gejala.
  4. Perilaku : Respon perilaku klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, bicara inkoheren, bicara sendiri, tidak membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata.

Perilaku klien yang mengalami halusinasi sangat tergantung pada jenis halusinasinya. Apabila perawat mengidentifikasi adanya tanda –tanda dan perilaku halusinasi maka pengkajian selanjutnya harus dilakukan tidak hanya sekedar mengetahui jenis halusinasi saja. Validasi informasi tentang halusinasi yang diperlukan meliputi :

  1. Isi halusinasi
  2. Waktu dan frekuensi.
  3. Respon Klien

Pohon Masalah

 

Resiko perilaku kekerasan

Pohon masalah keperawatan kasus halusinasi dapat digambarkan dalam pohon masalah sebagai berikut :

 

Effect

                                               

 

Perubahan persepsi sensori : halusinasi

           

 

Core Problem

 

 

Isolasi sosial : Menarik diri

Causa  

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma’rifatul, 2011, Keperawatan Jiwa Aplikasi Praktik Klinik, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Direja, Ade Herman S. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Nuha Medika.

Keliat, Anna, Budi dkk. 2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta : EGC

Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta.

Prabowo, Eko. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: Universitas Diponegoro

Prabowo, Eko. 2017. Asuhan Keperawatan Jiwa. Semarang: Universitas Diponegoro

Rabba, dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Jiwa. Jakarta.

 

Penulis: 
Emanuel Triwisnu Budi, AMK
Sumber: 
Emanuel Triwisnu Budi, AMK

Artikel

25/03/2024 | Dwi Nopri Sakti,S.Kep.,Ns
25/03/2024 | SARI ANGGUN F.R, S.Kep, Ners
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt
30/06/2016 | Wieke Erina Ariestya, S.Kep.Ners
30/11/2022 | Zurniaty, S. Farm., Apt
18/06/2022 | Gita Riskika,S.Farm.,Apt

ArtikelPer Kategori